Ironisnya Institut Borjuis Saat Bahan Pangan Menjadi Sumberdaya Bisnis



Oleh : Nindira Aryudhani, S. Pi, M. Si
(Koordinator LENTERA)

Tagar #InstitutPalingBorjuis menjadi trending topic di Twitter. Rektor IPB Prof. Arif Satria menjawab keluhan mahasiswa soal biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang disuarakan lewat tagar tersebut. Saat dilihat, cuitan dengan tagar itu berisi keluhan mahasiswa soal UKT di masa pandemi virus Corona. Padahal diketahui, IPB menetapkan kebijakan kuliah daring bagi mahasiswa untuk mencegah penularan virus tersebut (detik.com, 21/06/2020).

Sebagai salah satu alumni, penulis sedih menyaksikan trending topic tersebut. IPB selama ini dikenal sebagai kampus yang memiliki rekam jejak baik, dari sisi prestasi, reputasi, hingga profesionalitas. Lebih sedih lagi, ketika yang diprotes oleh mahasiswa hanyalah UKT. Dalam hemat penulis, semestinya mahasiswa juga protes tentang hal selain UKT. Yang mana di tengah pandemi ini, terjadi impor bahan pangan yang luar biasa deras. Sementara pada saat yang sama, IPB seringkali lebih disibukkan oleh peraihan reputasi internasional menuju kampus kelas dunia.

Tentu bukan sesuatu yang semata-mata negatif dengan prestasi kampus kelas dunia itu. Justru membanggakan bagi kami yang pernah menuntut ilmu di almamater tercinta. Namun reputasi itu, menurut penulis, seolah mendistorsi fungsi IPB sebagai kampus pertanian yang semestinya menjadi rujukan pemerintah dalam pengambilan kebijakan di bidang pangan dan pertanian. Terkhusus di tengah pandemi ini, di mana banyak masyarakat yang kesulitan ekonomi, bahkan tak sedikit yang terancam kelaparan.

Ironisnya, di sisi lain, pemerintah malah membuka kran impor bahan pangan. Dikutip dari dailynewsindonesia.com (28/05/2020), salah satu komoditas pangan yang banyak diimpor adalah sayuran. Padahal, menurut ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri yang menyitir data dari Badan Pusat Statistik, angka impor sayur sudah mencapai 770 juta dolar setahun pada 2019. Nominal ini senilai dengan sekitar Rp 11,55 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat.

Faisal juga mengatakan, adanya krisis akibat Covid-19 menunjukkan kurangnya ketahanan pangan di Tanah Air. Karena secara umum, menurutnya, impor pangan Indonesia selama ini tergolong tinggi. Faisal mengatakan impor sayuran tersebut paling banyak didatangkan dari Cina, dan trennya terus menanjak.

Selain sayuran, Indonesia juga tercatat sebagai importir buah-buahan. Berdasarkan data 2019, dalam setahun Indonesia bisa mendatangkan buah dengan total US$ 1,5 miliar atau senilai Rp 22,5 triliun.

Belum lagi dengan komoditas pangan lainnya seperti gula. Sejak 2016, kata Faisal, Indonesia sudah menduduki sebagai importir gula terbesar di dunia dengan nilai sebesar US$ 2,1 miliar per tahun. Tren kenaikan impor itu sudah terlihat sejak tahun 2010. Kendati demikian, pada 2019 angka tersebut cenderung turun menjadi hanya US$ 1,4 miliar. Selain itu, turunnya impor gula Tanah Air pada tahun lalu juga disebabkan oleh stok yang masih melimpah.

Komoditas lain yang impornya cenderung tinggi adalah daging. Faisal mengatakan impor daging setara lembu Indonesia mencapai US$ 830 juta pada 2019. Apabila dijumlahkan dengan binatang hidup lain yang dapat dimakan, impornya menjadi US$ 1,3 miliar.

Yang kemudian terjadi, impor ini juga menjadi masalah ketika pada saat yang sama, masih ada kawasan-kawasan lumbung pangan yang mengalami panen raya, sehingga dipastikan terjadi surplus stok bahan pangan di dalam negeri. Tak ayal, hal seperti ini biasanya menyebabkan harga hasil panen di tingkat petani menjadi anjlok. Namun alih-alih menanggapi positif, atau minimal menenangkan publik, baru-baru ini Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) malah menyatakan bahwa jika tidak ingin miskin, maka bertanilah (gelora.co, 12/06/2020).

Demikian ringannya para pejabat negara itu beretorika. Seolah-olah pemerintah sudah memberi jaminan ekonomi terbaik bagi petani. Sementara perihal kebijakan penyediaan logistik antara Mentan dan Mendag saja, selama ini sering mengalami kekisruhan akibat kebijakan yang bertolak belakang. Misal, Mentan tak menghendaki impor, tapi Mendag menghendaki impor. Begitu saja yang berulang kali terjadi. Namun pada akhirnya, petani dan juga masyarakat luas yang kembali jadi korban tumpang tindih kebijakan para pejabat itu.

Kondisi ini nampak makin dramatis, oleh adanya data dari Asian Development Bank (ADB) yang melaporkan bahwa 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan hal itu dalam laporan bertajuk ‘Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045’ (cnnindonesia.com, 06/11/2019). Padahal pada suatu masa, Indonesia pernah bercita-cita menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Tapi apa daya, yang terjadi adalah kebalikannya.

Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut, atau 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang totalnya sebanyak 25,14 juta orang, disebabkan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan juga produktivitas yang rendah. Bahkan, banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting.

Fenomena ini selayaknya turut menjadi alarm bagi IPB akan fungsinya sebagai kampus pertanian. Terlepas dari berbagai kisruh tata kelola rezim terhadap sistem pertanian dan pangan, kampus tercinta ini hendaknya mengadopsi realita ini sebagai PR besar. Yang artinya, berbagai prestasi IPB di bidang riset yang begitu tinggi dan mendunia itu, ternyata belum mampu mendarat dalam rangka memenuhi jaminan ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial di bidang pangan dan pertanian.

Padahal, isu-isu ini begitu akrab dibahas di bangku perkuliahan sejak tingkat pertama. Belum lagi maraknya aksi-aksi mandiri bakti sosial, serta ide-ide brilian para mahasiswa yang teraktualisasi dalam beragam kegiatan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa). Namun ketika kemudian pemerintah yang lebih sering memihak impor dan membiarkan komoditas pangan dibisniskan hingga terjadi kartelisasi, tentu problem ini memerlukan keseriusan yang luar biasa untuk menanganinya.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama