Adakah Feminisme Dalam Islam?


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Di dunia ini hanya ada tiga arah pandang yang melandasi pembuatan kebijakan sebuah negara yaitu yaitu Sosialis ,Kapitalis dan Islam.  ketiganya sangat jelas berbeda namun hari ini , dari sisi politik dan ekonomi,  arah pandang  sosialis ( Komunis) telah hilang melebur bersama kapitalis sedangkan Islam belum diemban oleh satu negara pun di dunia ini.

Bagaimana cara pandang ke-3 arah pandang ini terhadap perempuan? Jika  kita kaitkan dengan beberapa istilah seperti gender,  feminisme atau emansipasi maka ternyata asal istilah tersebut bukan berasal dari Islam melainkan dari Demokrasi , sebuah sistem politik yang berdasarkan suara mayoritas . Dimana sistem politik itu landasannya sekulerisme , pemisahan agama dari kehidupan.  jadi kepemimpinan tidak berdasarkan agama, gender atau orientasi seksual tertentu.

Bagi para pejuang Demokrasi , maka seorang pemimpin tak masalah memiliki orientasi seksual yang menyimpang  ataupun tidak beragama sekalipun. Para pejuang Gender sekaligus para pejuang Demokrasi menolak hadis yang diriwayatkan Bukhari ,"  Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan". Mereka menilai hadis ini cacat secara periwayatnya.

Namun faktanya, hadits diatas adalah hadits Ahad shahih dan para ulama hadits sepakat bahwa hadits itu wajib diterima dalam masalah penetapan syara.  Masalah syariat boleh memakai hadits Ahad,  jika memenuhi syarat,  diantaranya perawinya mukallaf , Muslim , dobit dan tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.

Lantas mengapa kaum feminisme menolak hadis di atas? Sebab menurut mereka selain cacat di perowinya,  isinyapun menyatakan adanya pembatasan hak- hak kaum perempuan yang selama ini mereka perjuangkan.  Islam sebagai  agama , yang dituding menyebabkan wanita tidak bebas menentukan nasibnya berikut tak bebas meoptimalkan potensi yang ada pada dirinya.

Namun benarkah Islam demikian?  Jika melihat pada hadis diatas ,  maka yang dimaksud oleh Rasulullah adalah ketidakbolehan wanita sebagai pemimpin dalam wilayah al-amri atau Al Hukam seperti misalnya menjadi seorang khalifah,  wali kota , Qodi Qudhat dan Qodi madzalim. sedangkan pada wilayah yang lain wanita boleh menjabat apa saja,  sebagaimana Khodijah istri Rasulullah adalah seorang pebisnis.

Pembatasan Islam tersebut bukan dimaksud untuk menghilangkan  potensi perempuan sehingga tidak bisa melaksanakan apapun yang dia kehendaki. Melainkan itu adalah bentuk penjagaan kehormatan perempuan sebagaimana tujuan diciptakannya perempuan  oleh Allah SWT. Sebab jabatan khalifah sebagai pemimpin umum umat muslim akan senantiasa berhubungan dengan amal yang tidak mungkin dilaksanakan oleh seorang perempuan seperti misalnya menggumumkan perang , memimpin masyarakat laki-laki maupun perempuan,  memimpin pasukan di medan perang termasuk juga memimpin salat berjamaah yang itu semua tidak sesuai dengan tabiat wanita.

Karena hadis diatas mengandung  larangan maka artinya secara syariat adalah mengikat.  Dan harus ditinggalkan.  Hadits ini berlaku dalam keadaan apapun,  semisal pada masa pandemi hari ini. Beberapa waktu lalu viral di media sosial yang memberitakan pemimpin wanita di dunia seperti Angela merkel , Jerman. Jasinda Arden PM  Selandia baru  mencapai keberhasilan mengatasi pandemi hingga jumlah angka positif  signifikan turun namun seorang pemimpin sejatinya tidak hanya dibutuhkan pada saat penanganan pandemi saja.

Pemimpin dalam Islam dibutuhkan seseorang yang mampu menyelesaikan seluruh urusan umat,  menciptakan kesejahteraan dan menjamin setiap rakyatnya dalam keadaan aman. Tak bisa dipungkiri fenomena tentang pemimpin perempuan itu telah mendorong PBB dalam hal ini UN Woman untuk mengkampanyekan secara global planet 50x50 hingga  tahun 2030. Namun tetap saja seolah dunia menutup mata,  bagaimanapun porsi perempuan perannya ditingkatkan dalam ranah sosial,  tak akan di dapat pemimpin yang  cakap pada saat menangani pandemi namun juga menangani multikrisis yang diakibatkan oleh virus tersebut. Dan itu butuh pemimpin yang memiliki sistem yang Kaffah.

Islam memandang perempuan sebagai sesuatu yang berharga dan patut dijaga kehormatannya wanita boleh lebih unggul dari laki-laki tapi ketaatan kepada Allah itu yang lebih berharga dan diterima oleh Allah sebagaimana firman Allah dalam Quran Surat Ali Imran ayat 102 yang artinya ," Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim"

Sehebat apapun manusia mampu menjalankan amanahnya tidak akan berarti Jika dia tidak taat kepada perintah Allah termasuk bagi seorang perempuan yang ditetapkan  Allah  SWT sebagai Ummu warobatul bait dan Madrasatul Ula bagi keluarga dan anak-anaknya. Artinya tidak butuh ide feminisme untuk menjadikan perempuan istimewa.  Syariah telah sempurna mengaturnya.Wallahu a' lam bish showab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama