Pemerintah Berlepas Tangan Dibalik Pembatasan Sosial Berskala Besar


Oleh : Ghayda Azkadina
(Anggota Komunitas Pelita)

Meningkatnya jumlah penderita Covid-19 di nusantara menimbulkan gaung tuntutan di tengah masyarakat untuk segera diberlakukan lockdown. Bagaimana tidak, korban mulai berjatuhan diiringi meroketnya kisaran jumlah orang-orang yang positif terinfeksi wabah ini. Seruan ini lebih gencar lagi diteriakkan oleh masyarakat Jakarta. Tak berlebihan, menilik Jakarta saat ini telah menjadi episentrum covid-19 di Indonesia.
Banyak pihak mencermati bahwa lockdown efektif untuk menghentikan laju penyebaran virus Corona baru ini di Indonesia. Apalagi beberapa negara telah menjalani kebijakan tersebut dengan segala konsekuensinya. Malaysia misalnya, negara ini telah memutuskan hubungan dengan dunia luar sejak 18 Maret 2020 lalu(1. Selain itu, Itali dan beberapa negara Eropa bahkan sudah lebih dulu menahan warganya untuk tidak keluar rumah dengan penetapan sanksi.

Meskipun terdapat negara yang tidak melakukan lockdown seperti misalnya Singapura dan Korea Selatan, namun dua negara ini sangat ketat dalam memberlakukan social distancing dan kontrol terhadap pergerakan orang. Selain itu, protokol yang efektif dilancarkan untuk mengidentifikasi orang-orang yang sakit(2.
Kebijakan tersebut membuat dua negara ini dinilai berhasil dalam menekan jumlah penyebaran wabah di negaranya. Jika dibandingkan dengan Indonesia, kebijakan yang diambil 2 negara tersebut dirasa sulit untuk diterapkan menimbang kurangnya sumber daya dan tenaga medis yang dimiliki Indonesia saat ini.

Lockdown atau pun tidak, pada kenyataannya pemerintah  telah mengambil keputusan yang spontan membungkam semua skenario perhitungan beban ekonomi maupun efek kebijakan karantina wilayah yang dispekulasikan para ahli. Bahkan para pendukung anti lockdown yang mengatasnamakan rakyat kecil pun mungkin tak bisa berkata-kata lagi. Ya, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Pada rapat terbatas tanggal 30 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pendisiplinan physical distancing yang jika diperlukan didampingi dengan status darurat sipil (3.

PSBB yang termaktub dalam UU No. 6 Tahun 2018 pasal 59 merupakan bagian dari respon kedaruratan kesehatan masyarakat. Artinya, pemerintah berhak membatasi, menutup dan meliburkan fasilitas umum atau sarana yang dapat berpotensi mengumpulkan massa dalam jumlah besar. Semua ini dilakukan dalam rangka mencegah meluasnya wabah.
Demi mempertegas tujuan tersebut, pada tanggal 31 Maret 2020 Presiden menandatangani Perpu Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Peraturan ini diperkuat lagi dengan ditekennya Kepres Nomer 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Aturan ini tentu berdampak reaksi tak menentu dari masyarakat.

Benar saja, belum lagi teks peraturan bergulir di publik, upaya pemblokiran sepihak dilakukan oleh masyarakat. Mayoritas kampung-kampung, rukun tetangga dan rukun warga di daerah Jakarta Pusat misalnya, sudah menutup secara mandiri akses keluar dan masuk area mereka. Lucunya, beberapa menutup akses hanya bagi kendaraan bermotor yang masuk ke wilayahnya, sedangkan pergerakan orang yang keluar masuk tidak dihentikan. Meski beberapa area memberlakukan desinfeksi, namun masih banyak pula warga yang hanya bisa pasrah membiarkan lalu lalang orang yang memang memiliki kepentingan yang genting.

Silang siurnya pemberlakuan aturan PSBB ini dinilai takkan efektif. Hal ini terlihat pada masih terbukanya kisi-kisi yang mengalirkan kemungkinan terjadinya interaksi masyarakat secara fisik pada Perpres No. 21 tersebut. Menilik Pasal 4 ayat (3), nampak masih terbuka keran pergerakan orang-orang untuk boleh keluar masuk arena publik jika dalam rangka pemenuhan kcbutuhan dasarnya. Hal ini seakan semakin mempertegas bahwa pemerintah menyerahkan urusan pemenuhan kebutuhan dasar hidup ini pada masyarakat tanpa memperhatikan lagi bahaya yang mungkin ditimbulkan dengan tumpah ruahnya mereka ke jalan-jalan. 

Seruan masyarakat untuk lockdown atau karantina wilayah tak diindahkan. Pemerintah bahkan lebih memilih untuk mengancam masyarakat dengan status darurat sipil. Dilema masyarakat pinggiran pun semakin meruak. Diam di rumah bakal kelaparan, sedangkan keluar rumah mencari makan terancam terpapar corona. Ditambah lagi intaian aparat yang siap sedia mencecar rakyat yang berkeliaran. Rakyat laksana memakan buah simalakama, atau lebih kejam lagi, seperti bermain roullete Rusia yang siap-siap bertaruh nyawa.

Fakta memperlihatkan dengan jelas bagaimana sesungguhnya tabiat penguasa yang berlepas diri dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Seyogyanya pemerintah mengambil langkah karantina wilayah yang lebih efektif mencegat laju epidemi corona ini. Sesuai pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomer 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, telah jelas bahwa pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kewajiban ini dituntut pada saat terjadi pandemi yang mengharuskan diterapkannya karantina. Namun lagi-lagi pemerintah berkelit dan membiarkan rakyat dikepung berbagai kesulitan.

Tak perlu heran dengan sikap yang diambil oleh pemerintah. Seperti itulah wajah kapitalisme. Di dalam benaknya bercokol azas manfaat belaka. Jika dirasa merugikan atau tak ada keuntungan di dalamnya, maka jangan harap ada kebijakan yang menenteramkan rakyat. Meski janji-janji memberikan bantuan dilontarkan pemerintah, kita patut curiga bahwa hal tersebut hanya madu yang ditawarkan untuk pemanis bibir belaka. Prasangka baik memang tak bisa diterapkan pada ideologi kapitalisme. Telah berkali-kali jatuh pada kesengsaraan seharusnya membuka mata kita bahwa tiada lagi yang dapat diharapkan dari sistem saat ini.
Bertolak belakang dengan sistem Islam. Diterapkannya syariah Islam dalam sistem Khilafah telah terbukti mampu melindungi ummat. Sistem karantina yang pertama kali diperkenalkan oleh Rasulullah SAW membuktikan kapabilitas syariah Islam dalam memecahkan permasalahan wabah.

Sejarahpun membuktikan bagaimana di masa Khalifah Umar Bin Khattab kebutuhan dasar rakyat terpenuhi dengan layak bahkan di saat kondisi mewabahnya penyakit.  Bagaimana sistem kesehatan di masa khilafah yang menjadi contoh yang bahkan tak mampu ditiru oleh pemerintahan manapun di dunia saat ini. Dimana orang yang sakit bahkan diberikan gaji oleh negara sebagai pengganti karena saat ia sakit ia tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Riset dan teknologi kesehatan saat itu tak perlu ditanya lagi. Siapa yang tidak kenal dengan Ibnu Rusd, cendekiawan Islam yang masih menjadi rujukan di bidang kesehatan hingga saat ini.

Kondisi saat ini hanya akan dapat kita hentikan dengan mengambil syariah Islam sebagai solusi secara total. Kekayaan alam negeri ini hanya akan dapat dinikmati rakyat apalagi di masa pandemi seperti ini apabila dikelola sesuai aturan Allah. Sudah saatnya kita tinggalkan rezim dan sistem yang batil saat ini jika kita benar-benar menginginkan perubahan yang hakiki. Wallahualam. []

Daftar pustaka:
1) https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/30/161900865/update-23-negara-berlakukan-lockdown-guna-hentikan-penyebaran-virus-corona
2) https://www.cnbcindonesia.com/news/20200318120307-4-145765/bukan-lockdown-ini-cara-negara-ini-tangani-corona
3) https://www.inews.id/news/nasional/jokowi-tetapkan-pembatasan-sosial-berskala-besar-dengan-darurat-sipil#

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama