Lagi! Di Tengah Pandemi Umat Islam Didiskriminasi



Oleh: Kholila Ulin Ni'ma, M.Pd.I

Pandemi corona terus menelan korban di berbagai negara. Di tengah kondisi yang makin meresahkan ini, lagi-lagi umat Islam menjadi sasaran Islamphobia. Di Inggris, kelompok kulit putih anti-Islam menyatakan di sosial media bahwa kaum Muslim melanggar peraturan 'lockdown', dan mengabaikan aturan isolasi dengan berkumpul di luar dan di masjid-masjid. Mereka menyebar foto dan meme salat berjamaah di masjid Inggris. Padahal apa yang terjadi pada foto tersebut sudah lama, jauh sebelum pandemi corona. (today.line.me, 12/4/2020)

Di Amerika Serikat tak jauh beda. Situs website sayap kanan telah menyebarkan teori konspirasi palsu bahwa gereja-gereja di negara itu akan dipaksa untuk tutup selama pandemi, sementara masjid akan tetap terbuka untuk beribadah. Sementara di India, para ekstrimis menyalahkan seluruh populasi Muslim di negara itu. Ekstrimis mengklaim muslim sengaja menyebarkan virus melalui "corona-jihad". (republika.co.id, 11/4/2020) Tuduhan ini setelah adanya jamaah Tabligh yang menggelar agenda besar di tengah pandemi corona. Sentimen anti-Islam di India bahkan dihembuskan juga oleh politikus negara itu. Seorang tokoh senior partai berkuasa  mengatakan tindakan Jamaah Tabligh itu "kejahatan Taliban". (today.line.me, 12/4/2020) Tak hanya diskriminasi verbal, bahkan New York Times melaporkan sejumlah pemuda muslim diserang dan diintimidasi saat mencoba membagikan makanan pada orang miskin. Di tempat lain di India, masyarakat dilarang membeli susu sapi dari orang Islam karena dianggap terpapar virus corona.

Perang tagar pun terjadi. Tagar #coronajihad digunakan hampir 300 ribu kali antara 29 Maret dan 3 April, sebagian besar di India dan AS. Banyak yang menggambarkan Muslim sebagai pembom bunuh diri yang diikat dengan "bom virus". Tagar-tagar yang senada seperti #IslamicVirus, #BioJihad, dan #MuslimVirus juga telah bertebaran di facebook dan twitter. Tak lama kemudian muncul tagar tandingan #StopCOVIDIslamophobia.

Tak bisa dimungkiri, memang ada jamaah ataupun oknum tertentu yang tetap mengadakan perkumpulan, hingga menjadi sorotan. Namun munuduh mereka sengaja menyebarkan virus untuk membunuh nonmuslim merupakan tuduhan keji yang berlebihan.

Jika pun ada oknum atau jamaah tertentu yang masih mengadakan perkumpulan, maka selayaknya mereka diedukasi, bukan justru difitnah dengan keji atau didiskriminasi. Apalagi, nyatanya, yang terjadi di India tak seperti yang mereka tuduhkan. BBC Hindi menyatakan bahwa ratusan delegasi event besar Jamaah Tabligh di India tersebut sudah meninggalkan lokasi sebelum lockdown diberlakukan pada 24 Maret. Hanya saja, lebih dari 1.000 pengikut, termasuk sejumlah warga negara asing, terlantar karena semua moda transportasi dan penerbangan internasional dihentikan. (bbc.com, 3/4/2020)

Demikianlah Islamophobia. Pasca serangan gedung WTC 11 September 2001, gaung islamophobia kian mengudara dan menjadi tren topik dunia saat itu hingga kini. Amerika kala itu tampil menjadi pelaku utama untuk membasmi mereka yang berpaham radikal dan fundamentalis. Tuduhan itu pun disematkan kepada Islam. Babak baru monsterisasi Islam dan syariatnya pun dimulai. Media-media barat dengan gencarnya mengkerdilkan dan menyudutkan Islam melalui berbagai tayangan yang disajikan.

Kebohongan yang selalu diulang-ulang setiap harinya lambat laun diterima sebagai sebuah kebenaran. Begitulah nampaknya kaum muslim dan masyarakat dunia pada umumnya. Mereka pun terhipnotis dengan isu barat dalam menyudutkan Islam.

Gencarnya barat mengkampanyekan dan mensukseskan agenda ini bertolak dari kekhawatiran besar akan kebangkitan Islam dan kaum muslimin. Barat meyakini bahwa Islam bukan hanya sebatas agama yang kini dianut oleh miliaran juta jiwa di dunia. Akan tetapi, barat  meyakini bahwa Islam juga sebuah ideologi yang keberadaannya menjadi rival nyata sekularisme demokrasi dan sewaktu-waktu akan mengguncang singgasananya. Jika sudah demikian, maka ke mana lagi Barat melabuhkan kapal-kapal tengkernya? Bukankah kita ketahui bersama bahwa Amerika dan para pembesar negara kapitalis lainnya sangat bergantung pada hasil alam negeri-negeri kaum muslimin.

Karena itu, berbagai upaya pun dilakukan agar kebangkitan Islam ini tidak terjadi. Menakut-nakuti umat Islam serta penduduk dunia melalui berbagai propaganda tidak henti dilakukan oleh mereka penghamba Ideologi ini. Isu ini pun kian subur bak jamur di musim hujan akibat sokongan dari sistem sekular kapitalis hari ini.

Di tengah wabah yang makin meresahkan dan ekonomi dunia yang semakin menunjukkan kerapuhannya, seharusnya dunia bersatu mencari solusi atas itu semua. Bukan memanfaatkan pandemi ini untuk menyebarkan fitnah terhadap kaum muslimin dan mempertajam konflik agama. Inilah bukti kegagalan sekularisme dalam menciptakan keharmonisan masyarakat. Tak ada lagi alasan untuk mempertahankan sistem yang telah diambang kehancuran ini. Saatnya kita semua muhasabah diri dan kembali pada sistem Illahi. Allahu a'lam bish shawab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama