Oleh Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui akun twitternya telah melontarkan kritik terhadap surat Telegram kepolisian Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 yang berisi tentang penanganan hoax corona dan penghinaan presiden. SBY menyatakan bahwa poin-poin dalam telegram Polri itu malah memicu persoalan baru.
SBY secara lugas menyatakan, "Saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi. Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk "mempolisikan" warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara".
Lebih lanjut SBY mengingatkan, "Mumpung ketegangan ini belum meningkat, dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak," imbuhnya.
Penyikapan tersebut kiranya sangat bijak. Beberapa hari terakhir ini, penguasa menunjukkan sikap reaktifdan terburu-buru untuk menangkap pelaku dugaan penghinaan presiden.
Masih segar diingatan kita apa yang dialami oleh sdr Ali Baharsyah yang ditangkap dengan berbagai alasan yang tidak jelas, salah satunya nyaring di media karena unggahan video #Go blok sebagi buah kritik terhadap adanya opini darurat militer dalam penangan korona.
Sekian kali, hal tersebut cukup ironis apabila dikembalikan pada jargon demokrasi yang selama ini digembar-gemborkan oleh para aktivis politik di negeri ini. Tentu dalam demokrasi salah satu yang dijamin adalah adanya kebebasan berpendapat. Lalu dimana letak jaminan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi?
Seharusnya penguasa mau mendengarkan kritik kritis yang dilontarkan oleh rakyatnya. Kritik tersebut adalah bahan melakukan intropeksi diri atas segala tindak tanduk penguasa. Maka benar kiranya kalau ada yang berujar, sekiranya wakil rakyat alergi dengan kritik tidak usah mewakili rakyat. Tidakkah mereka lupa bahwa gaji mereka adalah pajak dari rakyat?
Wajar kiranya kalau kritik pedas dilontarkan rakyat. Para penguasa lamban dan dinilai meremahkan ancaman pandemi Covid-19, terlebih di tengah nyaringnya usulan lock down. Seharusnya penguasa memperbanyak intropeksi atas segala kebijakannya. Bukan malah jumawa dengan segala kekuasaan yang dimiliki.
Karena segala bentuk kritik kritis rakyat lahir dari kebijakan yang tidak adil dan membuat rakyat menderita. Wajar jika rakyat mengeluh, mengkritik, dan mengungkapkan uneg-unegnya di ruang sosial media, atau dengan aksi.
Fitroh manusia jika melihat sebuah ketidakadilan akan bergejolak jiwanya. Tapi bagi para pelaku kezaliman mereka melawan hati nuraninya yang brontak ketika ketidakadilan mereka lakukan. Jika penguasa terus-menerus berlaku sedemikian, bukannya intropeksi malah semakin bereaksi represif, ini hanya akan membuat suasana semakin memanas.
Sikap represif tidak akan menghentikan nurani rakyat yang terus melawan segala bentuk kezaliman. Malah hal ini akan mampu menyatukan umat dan terus menyulut perjuangan umat untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan.
Tentunya segala ketidakadilan yang terjadi diakibatkan karena diterapkan sistem yang bersumber dari hawa nafsu manusia. Mereka sibuk membuat aturan berdasar kepentingan dan keuntungan masing-masing kelompok, dan mengabaikan rakyat. Contohnya, banyak kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok daripada seluruh rakyat negeri ini. Terlebih lagi sebagai penguasa, mereka malah terjangkit islamofobia tingkat akut.
Bukannya muhasabbah diri dengan taubat nasuha kembali pada syariat Islam, malah sibuk mengkriminalisasi ajaran Islam, wabilkhusus Khilafah ajaran Islam. Sekali lagi, sekuat apapun mencitraburukkan ajaran Islam, sungguh kemuliaan Islam malah yang akan semakin nampak. Segala bentuk usaha tersebut akan sia-sia dan akan berujung pada penyesalan dan kekalahan. Karena kezaliman akan sirna dan kebenaran akan menang. Insya Allah.[]