Kartu Pra Kerja Ditengah Wabah, Tepat Sasarankah?


Oleh: Tri S, S.Si
(Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Denni Purbasari mengatakan sejak dibuka pada Sabtu (11/4/2020), sebanyak 1.4 juta orang telah mendaftar Kartu Prakerja gelombang pertama hingga hari ini, Minggu (12/4/2020) pukul 16.00 WIB. Kuota pada gelombang pertama pendaftaran Kartu Prakerja ini adalah 164.000 orang. Sementara itu, yang sudah verifikasi NIK sebanyak 624.000 orang (KOMPAS.com, 12 April 2020).

Era corona ibarat bayang-bayang hitam kehidupan masyarakat dunia. Tak terkecuali Indonesia. Di samping daya tularnya yang mencapai tingkat super-super spread, corona tengah memulai era baru. Pandemi corona ini adalah era resesi global yang tak ayal telah membuat perekonomian dunia jungkir balik. Alih-alih meroket, menanjak saja tidak!
Dan sebagai negara yang secara ekonomi menginduk pada kapitalisme, Indonesia juga pasti terkena dampaknya. Badai PHK telah gentayangan menghantui sektor-sektor ekonomi sejak beberapa bulan terakhir. Korban terparahnya tentu saja para pekerja informal. Terlebih yang berpendapatan harian dan honorer. Work from home sama sekali tak berkorelasi dengan pendapatan mereka. Justru menurut mereka, mereka lebih baik mati di luar rumah akibat corona daripada mati di dalam rumah akibat kelaparan. Astaghfirullah!

Sungguh ironis. Manusiawi, hingga tiada terbendunglah hujan tangis. Rakyat kecil benar-benar dilematis. Menurut catatan Kemenaker, hingga 13 April 2020 sudah ada 2,8 juta orang di PHK dan dirumahkan karena dampak pandemi corona, maka mereka otomatis menambah daftar pengangguran di Indonesia.

Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, berdasarkan skenario yang diperhitungkan pemerintah, tingkat pengangguran akan meningkat. Paling berat terutama terjadi di Jawa. Disusul Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara. Secara jumlah, pemerintah memproyeksikan dua skenario, yakni skenario berat dan paling berat. Ini adalah skenario saat pandemi Covid-19 ini terhadap penambahan kemiskinan dan pengangguran.

Skenario berat, akan ada tambahan 1,16 juta penambahan orang miskin dan penambahan pengangguran 2,92 juta orang. Dan skenario paling berat, maka ada akan tambahan 3,78 juta orang miskin dan penambahan pengangguran 5,23 juta orang. Belum lagi jeritan para pengusaha yang sudah skeptis dengan menyatakan bahwa jika kondisi pandemi belum pulih maka perusahaan mereka hanya mampu bertahan hingga Juni 2020.

Mirisnya, di tengah kondisi yang kian di ujung tanduk ini, pemerintah masih saja belum tepat guna dalam mengambil langkah. Bukannya melakukan penanganan sigap bersifat jangka pendek dan panjang, pemerintah justru menaikkan alokasi anggaran untuk Kartu Prakerja hingga 100 persen, dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun, serta menambah jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang.
Program Kartu Prakerja ini mungkin saja bagai kontingen penyelamat di tengah ancaman resesi akibat wabah. Namun demikian, program ini justru nampak sangat dipaksakan padahal krisis sudah dan sedang terjadi. Konsep program ini mengadopsi bahwa korban PHK dilatih secara online baru diberi tunjangan.
Sementara untuk penyelenggaranya, akan mendapat dana dari negara. Dana itu akan dipotong dari tunjangan para pekerja tadi. Artinya, para pekerja juga tidak akan memperoleh tunjangan dengan nominal yang penuh.Turut mengkritisi hal ini, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai bahwa Kartu Prakerja semestinya diterapkan saat kondisi perekonomian sedang normal.

Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Yang oleh karenanya, Kartu Prakerja bisa menjadi jawaban dengan memberikan pelatihan online maupun offline. Padahal, yang rakyat butuhkan saat ini bukan lagi pelatihan, melainkan dana segar untuk menyelamatkan asap dapur agar tetap mengepul, alias butuh makan. Jadi, di era krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan kebijakan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Prakerja.

Terlebih lagi, pelatihan online menjadi syarat wajib dari program Kartu Prakerja. Bayangkan jika mereka sebagian besar adalah para pekerja informal yang alih-alih melek teknologi. Dapat uang untuk bisa makan saja sudah bersyukur. Mengapa harus memaksa mereka agar menjadi sok online? Ibarat kata, program pelatihan online Kartu Prakerja malah tidak efektif dan salah sasaran karena digital skill dari sebagian besar pesertanya juga masih terbatas. Ini pastinya membutuhkan penanganan yang berbeda lagi. Maka hendaknya kebijakan yang diluncurkan jangan sekadar menuntut pekerja agar jadi high-tech secara instan.

Lebih dari itu semua, program “kartu sakti” seperti Kartu Prakerja ini tak ubahnya kebijakan asal jadi. Nampak hanya demi memenuhi janji kampanye tanpa memperhatikan kebutuhan hakiki rakyat. Jadi jelas sekali bahwa program Kartu Prakerja yang dibanggakan Presiden Joko Widodo itu sangat tidak tepat diterapkan saat pandemi corona ini. Justru skeptis.
Sungguh, semua realitas ini makin menegaskan bahwa negara kita memang luar biasa kapitalistik. Dalam setiap kebijakan publik, selalu mengandung syarat birokratif. Beruntunglah rakyat jika syarat tersebut mudah ditempuh. Masalahnya, selama ini benak birokrat terfokus pada slogan “Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”
Karena itulah, dalam mengatasi wabah corona beserta segala dampak derivatnya, hendaknya penguasa melakukan ikhtiar terbaik untuk mengurus rakyatnya. Meyakini bahwa wabah ini datang dari Allah SWT Sang Mahakuasa, yang oleh karenanya solusi dan pengurusannya juga semestinya dikembalikan sesuai aturan-Nya.

Rasulullah Saw. bersabda,
“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Khilafah Islamiyah adalah sistem kehidupan sesuai sunah Rasul-Nya. Khilafah mengemban tata aturan yang berlandaskan pada konsep ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurusi urusan umat). Sistem inilah yang mampu meniscayakan pengurusan urusan manusia dengan standarnya adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara menyeluruh orang per orang. Ini termasuk penyediaan sektor-sektor ekonomi sumber nafkah bagi para pekerja.

Standardisasi syarat pemberian pekerjaan dalam Khilafah adalah tingkat ketakwaan dan keterikatan para individu pada hukum syariat. Karena demikianlah langkah Rasulullah ﷺ ketika memilih para stafnya. Di samping itu, semangat ukhuwah Islamiyah dan manajemen pemerintahan Khilafah bersifat rapi, saling menopang, serta sigap terlibat dalam tim kerja yang solid.

Semuanya ditempuh agar warga, baik dalam keadaan ekonomi normal maupun saat terdampak wabah dan krisis, tetap memperoleh pemenuhan nafkah beserta penjagaan stabilitas ekonomi hingga tingkat rumah tangga. Dan khususnya saat wabah dan krisis, pemerintahan Khilafah menyiapkan dan memberikan bantuan dengan jumlah yang sangat banyak, bahkan berlebih. Dengan kata lain, jumlah itu sangat cukup hingga rakyatnya mampu bekerja sendiri mencari rezeki pascawabah dan resesi.

Bahkan jika itu mengharuskan penggunaan protokol berteknologi modern (seperti sistem online), Khilafah akan mengupayakan agar mekanisme ini berjalan sebaik-baiknya. Khilafah memfasilitasi mulai dari aspek birokrasi hingga digital skill masyarakat tanpa harus ada diskriminasi bagi rakyat yang masih gagap teknologi. Sistem kerja seperti Khilafah inilah yang layak kita upayakan dan kita percayai. Karena landasan serta metode pelaksanaannya sesuai fitrah, memuaskan akal, dan menenteramkan jiwa.[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama