Jaminan Sehat Rakyat, Banyak Syarat



Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Penulis dan Ibu Rumah Tangga

Berbicara sehat hari ini bak makan pisang goreng. Semua orang mengharapkan dan lebih-lebih bisa segera keluar dari situasi tak pasti hari ini akibat pandemi Virus Corona. Dilansir dari tempo.co, 16 April 2020, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)Kesehatan,  Fachmi Idris mengatakan agar pihaknya bisa menanggung pasien Corona, perlu ada diskresi khusus dari presiden. Diskresi itu perlu agar agar pasal 52 huruf O dalam peraturan Presiden no 82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan bisa di terobos . sebab pasal inilah yang memuat aturan bahwa BPJS Kesehatan dilarang menjamin pelayanan akibat wabah, seperti Virus Corona.

Hal itu disebabkan pasal 52 menyebutkan akibat wabah pelayanan kesehatan dan tanggap daruratnya adalah tanggungan pemerintah lansung. Dan BPJS Kesehatan tidak menanggungnya. Namun fakta di lapangan, penyebaran virus ini di berbagai wilayah Indonesia sangat luas dan pesat. Mulai dari 2 kasus pertama positif Corona pada Senin, 2 Maret 2020, berkembang menjadi 227 kasus hanya dalam hitungan 16 hari.

Masih menurut Fahmi, inilah  tidak bisa disamakan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) misalnya demam berdarah. Ada banyak pertanyaan bahkan keluhan dari penyelenggara fasilitas kesehatan dan pemerintah daerah tentang mekanisme pembiayaan pasien Corona. Hal ini  yang kemudian  menimbulkan masalah teknis di lapangan dan kepastian pembiayaan fasilitas kesehatan yang sudah berjibaku menangani pasien Virus Corona.

Untuk itulah dibutuhkan diskresi  berupa inpres atau perpres. Mengingat virus Corona juga memiliki batasan waktu. Dan menteri ekonomi Sri Mulyani dalam konferensi videonya mengatakan akan segera menyusun perpres itu dalam rangka memberikan kepastian kepada fasilitas ksehatan seperti rumah sakit dan dari BPJS agar bisa segera mendukung langkag-langkah penanganan Covid-19.

Kapitalisme memang sudah akut menyerang pemerintahan kita. Masalah nyawa masih saja dibuat main-main. Dengan menyulitkan prosedur yang tak penting, penanganan jadi melambat. Sementara rakyat menanggung kesulitan sendiri berikut kehilangan nyawa tanpa ada pihak yang peduli. Padahal dalam Islam hilangnya satu nyawa sangatlah berharga  daripada dunia dan seisinya.  Rakyat semestinya menjadi fokus utama. Tak perlu ada ijin berikut protokoler lainnya, sebab seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban Allah bukan pada kenapa rakyatnya mati, sebab artinya ia telah sampai pada ajalnya. Namun kemana saja ketika rakyat menderita? Dan iktiar apa saja yang sudah dimaksimalkan ?

Jika ini yang terjadi, akhirnya menjadi bukti bahwa negara ingin berlepas tangan terhadap pembiayaan penanganan Covid-19. Kita tahu, dengan motto gotong royong, gandeng renteng, saling subsidi, dana BPJS Kesehatan adalah dari iuran rakyat yang dibayar setiap bulannya. Sesuai kelas pembayaran berikut sesuai pula dengan kelas penanganan. Dianggap sebagai subsidi silangnya sebab orang yang sehat atau kaya (dengan pembayaran premi lebih banyak) akan “memberikan”haknya kepada yang miskin atau yang sakit. Lantas dimana peran negara? Mana yang dijamin oleh negara selain bolehnya investor bermain di ranah yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Jika hal ini terjadi dan inpres atau perpres itu sudah disahkan, maka resmi rakyat bayar sendiri biaya kesehatannya dengan BPJS kesehatan sebagai pencatat dan penyalurnya. Lantas  apa fungsi negara jika hanya mampu sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan untuk memuluskan kebujakan batil lainnya. Astahfirullah…

Rasulullah SAW mengingatkan ,” Pemimpin masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR Muslim). Hadist ini menegaskan bahwa tak ada alasan seorang pemimpin melakukan kebodohan dengan menciptakan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya. Belum juga memaksimalkan ikhtiar sudah menyerahkan urusan kepada pihak lain, swasta pula. Dengan kata lain, penguasa hari ini membebankan hal yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak lain.

Dalam syariat Islam, beban siapa penjamin kesehatan rakyat hanyalah ada di pundak seorang Khalifah. Untuk itulah telah ditetapkan pula bagi seorang Khalifah seperangkat aturan yang bersumber dari wahyu Allah SWT yang tak hanya berfungsi untuk mengatur akidah namun juga semua aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya kesehatan.

Pendanaan diatur pula dalam baitul mall dimana pos pendapatan dan pengeluarannya ditentukan oleh syariat, tak ada sedinarpun keluar ataupun masuk ke dalam catatan dan pos-posnya selain telah memenuhi persyaratan syariat. Maka, menjadi wajar jika sepanjang sejarah kaum muslim memiliki pelindung dan pengurus yang luar biasa, bertakwa dan rakyat sangat mencintainya.

Seorang muslimpun diharamkan Allah SWT untuk membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Berdasarkan hal inilah maka perkara asasiyah ( pokok) seperti sandang, pangan , papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara. Ada atau tidak ada kebutuhan atau bencana. Tak mungkin pemimpin Islam berbangga diri telah menggunakan hukum selain hukum Allah, jika memang ia orang bertakwa. Ketakutannya kepada Allah melebihi ketakutan terhadap kepemimpinan asing. Maka ia akan senatiasa memudahkan urusan rakyatnya dengan birokrasi mudah, sederhana dan cepat. Wallahu a’lam bish showab.[]




*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama