Oleh: Ummu Nawal
(Praktisi Pendidikan)
Pada 10 Februari 2020, Amerika Serikat Melalui US Trade Representatives (USTR), merevisi daftar kategori negara berkembang untuk urusan perdagangan internasional. China, Brazil, India, Afrika Selatan dan termasuk Indonesia yang semula berada pada kelompok negara berkembang naik level menjadi negara maju (CNBC Indonesia 23/02/2020).
Naik level menjadi negara maju berarti hak khusus yang diberikan WTO pada negara berkembang tidak berlaku lagi. Hak khusus itu adalah GSP (Generalized System Of Preferences) yang berupa subsidi ekspor bagi hasil pertanian, hak proteksi produk domestik ketika kebanjiran impor dan kebijakan penimbunan stok bahan pangan pokok di atas batasan domestik subsidi.
Keputusan sepihak AS dinilai tidak adil bagi berbagai pihak, China sendiri mengecam dengan menyatakan penolakan untuk masuk pada kategori negara maju. Menurut mereka AS melakukan investigasi dan meremehkan sistem perdagangan multilateral. Di dalam negeri, sekretaris kementerian koordinator bidang perekonomian, Susi Wijono menyatakan bahwa dicoretnya Indonesia dari daftar negara berkembang hanya akan memperlebar defisit neraca perdagangan. Pernyataan ini bukan tanpa alasan sebab per Januari 2020 saja Indonesia mengalami defisit sebesar USD 864 Juta. Sementara itu pakar ekonomi dari Institut of Development of Economics and Finances (IDEF) menilai pencabutan GSP bagi negara berkembang khususnya Indonesia berdampak pada melemahnyan pasar ekspor bagi produk dalam negeri. Tidak ada untungnya, pungkasnya (Liputan 6.com 26/02/2020).
Keputusan naiknya level beberapa negara berkembang menjadi negara maju ini didasari atas kecemburuan AS terhadap GSP yang diperoleh negara berkembang. Sebab produk yang dihasilkan bisa dijual lebih murah yang tentu saja sukses menghantam produk sejenis yang dikeluarkan oleh negara maju seperti AS. Maka adanya GSP ini mutlak menambah kerugian AS ditengah Loyonya negara tersebut menghadapi perang dagang.
Amerika serikat sebagai pengemban ideologi kapitalisme tentu tak ingin negara manapun menggantikan perannya sebagai negara super power. Maka dari itu AS menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan keputusan yang memaksa. Tentu saja, WTO yang notabenenya adalah bentukan AS tak mampu menghentikan apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh tuannya.
Label negara maju ini bukan soal gaya-gayaan naiknya level gengsi bagi Indonesia, di balik itu harus difahami bahwa branding palsu ini sejatinya hanyalah cara AS untuk semakin mencengkramkan kukunya menguasai negara lain, termasuk Indonesia. Apalah artinya label palsu nan semu ini jika hanya akan semakin memperburuk perekonomian dalam negeri dengan hanya menguntungkan bagi AS dan sekutu.
Islam dengan kesempurnaan ajarannya mengajarkan pada umatnya untuk berhati-hati dan tidak bersikap loyal pada kaum kufar. Terlebih negara kafir yang telah nyata memusuhi Islam. Termasuk larangan kerjasama ekonomi dan perjanjian luar negeri. Sebab sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an surat Ali Imran 118 tegas dinyatakan bahwa mereka, para kaum kafir itu tiada henti untuk menimbulkan kemudharatan bagi kita kaum Muslim.
Wallahu a'lam bi Shawab.[]