Kiat Islam Jaring Aspirasi Publik: Valid dan Berimbang



Oleh: Hayatul Mardhiyyah

Dewasa ini, keberadaan tim ahli dan lembaga-lembaga resmi yang dibentuk untuk memberikan masukan-masukan ilmiah dan obyektif, kurang "dipakai" oleh rezim. Alih-alih merujuk pendapat mereka, saat ini rezim lebih mengandalkan pendapat para buzzer untuk membahas hal-hal strategis. Suara prihatin muncul dari Direktur Indonesia Political Opinion (IPO).  Dedi Kurnia Syah Putra saat dihubungi Tempo menuturkan: "Maka wajar jika kemudian terjadi silang pendapat soal reshuffle, terburuknya jika kemudian publik tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga formal di masa mendatang." (nasional.tempo.co /24/2/2020)

Tidak cukup sampai di situ, rezim juga memobilisir (baca mendanai) para influencer pro rezim untuk mengaruskan opini yang mendukung program-programnya. Tak tanggung-tanggung, Rp 72 M akan diguyurkan untuk mendukung langkah rezim dalam menangkal dampak corona dalam sektor wisata (m.cnnindonesia.com/26/2/2020). Bisa dipahami jika langkah seperti ini terus ditempuh, suara dan pemikiran yang kritis, obyektif, dan representatif akan terus terpinggirkan. Belum lagi uang negara yang tidak sedikit dihamburkan untuk itu.

Urgensi Aspirasi Publik dalam Kepemimpinan Islam

Alloh SWT Maha Tahu bahwasanya manusia dalam berbagai kedudukannya adalah tempat salah dan lupa. Oleh karenanya Alloh jadikan saling menasehati, bermusyawarah, amar makruf nahi mungkar sebagai amal yang dipuji. Kedudukannya tidak saja sunnah, bahkan wajib. Saling mengingatkan dilakukan di berbagai level, dari rakyat jelata hingga pemimpin tertinggi. Melalui aspirasi bisa diperdalam fakta masalah yang hendak diselesaikan, dipahami apa yang menjadi kebutuhan umat, diambil langkah dan kebijakan yang lebih tepat bahkan bisa dikoreksi sebuah keputusan yang salah.

Agar aspirasi tidak kehilangan urgensitasnya, maka ia harus selalu dalam koridor benar dan baik menurut syariah. Rasululloh bersabda:
"Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari Muslim)
Di samping itu sebuah aspirasi muncul dan disampaikan dalam atmosfer loyalis-kritis. Saran dan kritik bukan dalam maksud membangkang atau mencabut loyalitas terhadap sebuah kepemimpinan, namun memperbaiki dan mengoreksi karena cinta dan ketaatan.

Mekanisme Khilafah Jaring Aspirasi Publik

Dalam khilafah, aspirasi bisa disampaikan secara langsung oleh warga negara maupun secara tidak langsung melalui Majlis Umat dan partai politik. Majlis Umat adalah salah satu struktur khilafah yang merupakan lembaga perwakilan yang menjalankan fungsi musyawarah dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.

Keanggotan Majlis Umat terdiri dari representasi rakyat khilafah, baik  muslim maupun  kafir ahlu dzimmah, pria maupun wanita. Mereka dipilih dari para calon yang merupakan representasi umat di berbagai wilayah khilafah, dengan cara yang sederhana dan cepat. Dengan demikian lembaga ini bisa memberikan informasi tentang realita wilayah berikut kebutuhan-kebutuhannya. Pasca Bai'at Aqobah II, Rasululloh SAW meminta agar dipilih dua belas orang wakil dari penduduk Madinah yang akan menjadi penanggung jawab atas kaumnya.

Keberadaan partai politik tidak hanya menjadi alat untuk sampai pada kekuasaan, namun juga menjalankan kewajiban amar makruf nahi mungkar sebagaimana dalam Al Qur'an:
"Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada al khayr (Islam), menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung ." (Terjemah Surat Ali Imron : 104). Partai politik akan menjadi mata dan telinga umat yang akan mengontrol dan mengoreksi pemerintahan sesuai standar Islam.

Khilafah juga akan memberikan iklim yang kondusif. Dalam batas-batas yang telah dibolehkan syariah, Majlis Umat memiliki hak berbicara dan menyampaikan pendapat tanpa ada suatu keberatan pun (Kitab Ajhizatu ad Daulah al Khilafah, Bab Majlisu al Ummah). Bahkan hak ini diberikan pula kepada partai politik dan perorangan.

Tak dibenarkan adamya intimidasi terhadap mereka. Saat para sahabat "memprotes" Rasululloh berkaitan dengan Perjanjian Hudaibiyah, beliau tidak mencela "protes" tersebut. Bahkan  Mu'awiyah bin Abu Sufyan ra tidak mengintimidasi Jariyah bin Qudama as Sa'adi, seorang Arab gurun yang menasehatinya dengan keras. Padahal saat itu Mu'awiyah tengah menerima tiga menteri Romawi. Bahkan Sang Khalifah ini bertutur: "Aku telah berkata kasar pada orang tadi dan ia pun berhak menjawab. Aku yang memulai dan aku pula yang layak disalahkan, bukan dia."(Jalaluddin as Suyuti, Tarikh al Khulafa')

Selanjutnya aspirasi yang terjaring melalui Majlis Umat, partai politik, dan perorangan akan disikapi secara proporsional. Terdapat aspirasi yang bersifat mengikat bagi khalifah untuk diterima dan dilaksanakan seperti "muhasabah", yaitu mengontrol dan mengoreksi tugas dan kebijakan pejabat pemerintahan, serta masukan terkait berbagai perkara praktis seputar pengaturan urusan umat semisal permintaan perbaikan jalan, penyediaan sarana air bersih, dan lain-lain.

Aspirasi yang bersifat mengikat berikutnya adalah kajian mendalam yang dilakukan ahli dan ekspresi ketidakrelaan mayoritas anggota Majlis Umat terhadap kepemimpinan para pembantu khalifah seperti mu'awin, wali, dan amilnya. Khalifah wajib memberhentikan mereka. Rasululloh pernah memberhentikan Ila' bin al Hadhrami sebagai wali di Bahrain karena pengaduan dari representasi penduduk Bahrain.

Terkait aspirasi lain yang tidak mengikat tetap diberi ruang bagi publik untuk menyampaikannya. Hal ini bisa dilakukan secara langsung maupun melalui Majlis Umat, partai politik dan media informasi yang ada.

Demikianlah mekanisme khilafah dalam menjaring dan menindaklanjuti aspirasi publik. Valid dan berimbang.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama