Hegemoni AS Dalam Status Negara Maju Bagi Indonesia



Ruruh Hapsari, ST

Belum lama ini Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang oleh Amerika melalui United States Trade Representative (USTR). Tanggapan beragam timbul. Positif, karena sejak lama Indonesia memang menginginkan sejajar dengan negara maju lain. Negatif, karena disinyalir dapat memukul neraca perdagangan Indonesia.

Sebenarnya tidak mudah sebuah negara diindikasikan menjadi negara maju. Dalam hal ini lembaga-lembaga internasional mempunyai patokan berbeda dalam memaknainya. UNDP mengklasifikasikan negara maju berdasarkan Human Development Index (HDI). Saat ini Indonesia berada dalam peringkat 111 dan terkategori High Human Development.
Sedang Bank Dunia menggunakan Gross National Income (GNI) per kapita. Dalam hal ini Indonesia masih termasuk ke dalam lower middle income dengan GNI USD 3840 per kapita. Lain halnya dengan IMF yang mengkategorikan Indonesia ke dalam Emerging and Developing Asia. Dari ketiga lembaga internasional tadi, mereka menempatkan Indonesia kedalam negara berkembang.

Lalu mengapa AS menempatkan Indonesia menjadi negara maju? Ternyata semua itu berkaitan dengan perdagangan antar negara yang diatur oleh WTO. Pada dasarnya WTO sendiri tidak mempunyai patokan pasti apakah negara tersebut maju atau berkembang. Malah bagi negara anggota WTO, mereka dapat mengumumkan sendiri akan masuk negara maju ataupun berkembang. Seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Turki. Secara perekonomian bisa dianggap termasuk negara maju namun mereka justru mengumumkan dirinya sebagai negara berkembang.

Hal ini mereka lakukan karena berkaitan dengan perlakuan khusus WTO terhadap negara berkembang. Yaitu Special and Differential treatment (S&D). Yang menganjurkan negara maju untuk memberikan bantuan kepada negara berkembang. Sebagai contoh Generalize System of Preference (GSP) milik AS. Tujuannya untuk membantu perdagangan bagi negara berkembang agar dapat keluar dari belenggu kemiskinan.

Indonesia sendiri jika menjadi negara maju akan kehilangan GSP dalam rupa keringanan bea masuk impor. Bila importasi produk Indonesia di AS harus memakai tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN), maka industri Indonesia bakal kehilangan daya saing. Tahun 2019 lalu neraca perdagangan RI surplus US$9,6 miliar dengan AS. Sehingga pemerintah berpikir dua kali untuk kehilangan GSP.
Saat ini Trump mencoret secara sepihak banyak negara dari posisinya sebagai negara berkembang termasuk Indonesia. USTR mengumumkan setidaknya ada dua alasan mengapa Indonesia dianggap menjadi negara maju. Yaitu porsi perdagangan dunia yang melebihi 0,5% dan Indonesia juga masuk dalam negara G20. Hal ini juga dikarenakan sejak awal Trump ingin membereskan defisit neraca perdagangan AS dengan negara lain termasuk Indonesia.

Kejadian ini kental terlihat hegemoni AS terhadap negara berkembang. Yang merupakan perwujudan dari penjajahan gaya baru lewat banyak perjanjian. inilah wajah asli dari negara super power yang berlandaskan kapitalis. Serakah, maunya menang sendiri. Tidakkah pemerintah belajar dari pengalaman Freeport? Siapa yang selalu diuntungkan dan siapa yang selalu dirugikan? Sudah waktunya kita berlepas diri dari hegemoni negara lain. Ratusan tahun yang lalu Islam mencontohkan. Daulah khilafah Islam berjaya menjadi negara adidaya. Berlandaskan ideologi Islam yang asasnya syariat, itu rahasianya. Wallahu'alam. []







*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama