Legalisasi Ganja, Kebijakan Negara Mabok


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo

Apakah memang negeri ini tak ada daya hingga harus punya program ekspor ganja?  Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS Rafli mengeluarkan pernyataan yang, dalam konteks Indonesia, kontroversial. Dalam rapat bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di DPR RI, Kamis (30/1/2020), ia usul agar ganja dapat legal diekspor. (Tirto.id, 1/2/2020)

 Awalnya Rafli mengkritik kinerja Kementerian Perdagangan yang menurutnya kurang berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dalam memasarkan hasil pertanian. "Jangan bergerak di satu sektor saja, karena negara kita negara agraris," kata Rafli.

Kemudian  Rafli berusaha berargumentasi bahwa di Aceh ganja tumbuh subur, sehingga Pemda Aceh bisa memanfaatkannya untuk diekspor. Sebab, selain bernilai komoditi tinggi ganjapun banyak manfaatnya, salah satunya di bidang farmasi. Untuk itu bagi kaum Muslim terutama diminta untuk tidak terlalu kaku menghukumi fakta ini. Sebab wacana tentang bahaya ganja hanyalah konspirasi global.

Jelas terjadi pro dan kontra dalam hal ini. Perlu memandangnya lebih jeli dari berbagai aspek sebab, meskipun ganja bernilai ekonomis namun juga ada mudharatnya. Dan haruskah ganja menjadi satu-satunya solusi guna mendongkrak perekonomian Aceh yang rendah?

 Aceh memang  salah satu provinsi termiskin di Pulau Sumatera. Sejak tahun 2000, angka kemiskinan di Aceh tak pernah ada di bawah 10 persen. Padahal Aceh memiliki Sumber Daya Alam ( SDA) yang luar biasa. Sebagaimana konsep ekonomi dalam Islam, maka persoalan kemiskinan yang terjadi pada suatu wilayah merupakan tanggung jawab pemimpin.

Maka Islam memberikan seperangkat alat bagi seorang pemimpin mengentaskan kemiskinan. Yang semuanya termaktub dalam syariat yang mulia. Diantaranya pertama, Islam mewajibkan para kepala rumah tangga untuk bekerja. Maka jaminan penyediaan lapangan pekerjaan, berikut pelatihan, kursus, modal, peralatan maupun konsultasi akan disediakan oleh negara.

Jika kemudian kepala keluarga mengalami kesulitan atau kelemahan, setelah didata siapa walinya dan memang tidak ada yang mampu maka akan disantuni oleh negara hingga ia mampu.

Kedua adalah dengan mengupayakan pendidikan, kesehatan dan keamanan benar-benar diterima oleh rakyat sebagai hak, bukan beban bagi rakyat dengan membayar iuran kesehatan, keamaanan misalnya. Juga tidak dibebani dengan biaya pendidikan yang mahal. Sehingga benar-benar ketika seorang kepala keluarga bekerja adalah murni menafkahi keluarga, bukan menjamin seluruh kebutuhan asasinya, sebab itu kewajiban negara.

Dari mana negara memiliki kekayaan guna menjamin itu semua? Sebab, hari inilah yang menjadi ganjalan bagi negara, yaitu minimnya biaya sehingga rakyat masih harus diminta membiayai sendiri kebutuhan asasinya, bahkan lebih kejamnya lagi dicabut subsidinya sebab dianggap tidak berhak. Astaghfirullah..

Kekayaan negara berasal dari kepemilikan negara dan umum terhadap SDA yang memang sudah dikaruniakan oleh Allah untuk kemaslahatan umat. Namun, hari ini kepemilikannya tidak ada pada negara, sistem kapitalisme yang diadopsi penguasa telah menghilangkan hak-hak pengelolaan ini dan beralih kepada investor bermodal besar yang hanya berorientasi kepada keuntungan semata.

Akhirnya negara bergantung pada pendapatan pajak dan pendapatan negara dari sektor non migas atau bukan berasal dari pengelolaan SDA. Dimana hal ini rentan sekali dengan inflasi bahkan defisit. Jika sudah demikian, negara akan terus menerus berhutang agar anggaran belanjanya seimbang dan operasional negara tetap berjalan.

Mudharat berikutnya adalah mudahnya negara kita didikte oleh negara lain dengan ancaman hutang. Nauzubillah. Kewibawaan sebagai negara berdaulat tak ada. Maka, semestinya kita sudah harus berpikir cemerlang, dengan membuang sistem kufur yang mengungkung rakyat yang dijadikan tumbal. Saatnya kembali pada pengaturan Allah , Zat Yang Maha Miliki dan Mengatur. Agar hidup kembali tentram. Wallahu a'lam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama