"Kufur Nikmat", Statemen Tak Tepat Tanggapi Kritisisasi Stagnansi Ekonomi Rakyat


Oleh: Dyan Ulandari
(Aktivis Muslimah Jombang)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai pertumbuhan ekonomi 5, 02% patut disyukuri alias jangan kufur nikmat. Menurutnya capaian Indonesia masih lebih baik dibanding negara-negara lainnya.

Namun menurut Direktur Eksekutif Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, persoalannya bukan masalah kufur nikmat atau tidak, melainkan ancaman yang bisa ditimbulkan jika ekonomi tumbuhnya terus 5% saja alias stagnan itu berarti menunda masalah. Dia menjelaskan, dengan pertumbuhan ekonomi 5% artinya lapangan kerja yang tercipta tidak cukup untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah 3 juta jiwa setiap tahun.(m.detik.com, 9/2/2020)

/Statement Tak Tepat/

Menganggap kufur nikmat tentu kurang nyambung dan tidak tepat untuk menanggapi kritisisasi kewaspadaan atau mencari solusi atas persoalan kemandegan ekonomi di negeri ini. Istilah dalam terminologi Islam ini bukan dimaksudkan seperti itu. Diantara penjelasannya adalah sebagai berikut:

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 151)

"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)

Berkenaan dengan firman Allah: fadz-kuruunii adz-kurkum (“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan mengingatmu juga,”) Hasan al-Bashri mengatakan, (artinya) “Ingatlah kalian atas apa yang telah Aku (Allah) wajibkan kepada kalian, niscaya Aku pun akan mengingat kalian juga atas apa yang telah Aku tetapkan bagi kalian atas diri-Ku.”

 Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, “Ingatlah kalian kepada-Ku dengan cara menaati-Ku, niscaya Aku pun akan mengingat kalian melalui pemberian ampunan.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Melalui pemberian rahmat-Ku.”

Dan firman-Nya: wasy-kuruulii wa laa takfuruun (“Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari [nikmat]-Ku,”) Allah swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya agar bersyukur kepada-Nya dan atas rasa syukur itu Dia menjanjikan tambahan kebaikan.

Seharusnya dengan permasalahan ekonomi yang berkelanjutan membuat kita berfikir dan intrispeksi terhadap aturan dan sistem yang kita gunakan.

/Rendahnya Pertumbuhan Ekonomi/

Penurunan daya beli, investasi, dan masalah dalam negeri diyakini beberapa pihak sebagai penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tercatat 5,02% sepanjang 2019, lebih rendah dibandingkan 2018 sebesar 5,17%. Catatan BPS, konsumsi rumah tangga triwulan IV-2019 hanya tumbuh 4,97%. Padahal triwulan IV tahun lalu tumbuh 5,06%. Menurut Piter memang ada pelemahan daya beli masyarakat khususnya kelas menengah bawah. Sementara itu, masyarakat menengah atas lebih cenderung menahan konsumsi.

Berikutnya adalah pertumbuhan investasi yang mengalami penurunan sehingga ekonomi mentok di kisaran 5%. BPS mencatat PMTB atau investasi fisik pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,06%. Angka itu lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2018 yang tumbuh 6,01% dan kuartal III-2019 4,21%. (m.detik.com, 9/2/2020)

Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Haryo Soekartono dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan bahwa pemerintah selalu menyebut ketidakpastian global memukul ekonomi Indonesia, padahal penyebab terbesarnya adalah masalah di dalam negeri.

Masalah domestik yang menyebabkan ketidakpastian, dipaparkan Bambang adalah, inkonsistensi regulasi, upah minimum yang berbeda-beda di setiap daerah, fluktuasi bahan pokok dan energi, pungutan liar, korupsi, serta kerusakan infrastruktur.(www.vivanews.com, 10/2/2020)

Begitu banyak permasalahan menyangkut ekonomi di negeri ini. Seakan upaya yang kian lama tak kunjung mencapai jalan terang juga. Bahkan hanya mempertahankan besaran pertumbuhan ekonomi pun. "Mempertahankan posisi seperti itu saja sulit sekali," kata Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/2/2020). (m.detik.com, 5/2/2020)

Pertumbuhan ekonomi hingga hari ini digadang-gadang oleh sistem kapitalisme sebagai indikator utama atas keberhasilan ekonomi suatu negara. Terlebih menggunakan agregasi dalam cara menghitungnya, tentu ini tidak menjamin kesempatan akses masyarakat secara keseluruhan terhadap kebutuhan pokok baik barang maupun jasa.

Begitu juga harapannya terhadap Investasi dan permasalahan di dalam negeri. Seolah tiada investasi maka ekonomi akan mati. Permasalahan di dalam negeri pun yang tak kunjung pergi, dari mental korupsi hingga korporatokrasi.

/Perekonomian Dalam Islam/

Dalam sistem Islam, sumber ekonomi berasal dari 4 hal, yaitu pertanian, lerdagangan, jasa, dan industri. Ditopang dengan perdagangan yang sehat, menjauhi yang dilarang dalam Islam misal meniadakan monopoli, kartel, penipuan, mafia, serta riba. Maka produktifitas tetap tinggi, di saat yang sama harga pun terjangkau sehingga perekonomian mampu tumbuh sedemikian rupa.

Disamping itu negara dalam Islam juga melakukan politik ekonomi (kebijakan ekonomi) yang memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok per individu, seperti sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan ditopang tiga pilar khas, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi yang benar dan sesuai hukum syara` maka rakyat akan hidup sejahtera.

Dengan sistem yang kokoh seperti itu negara mampu menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi dan kompetitif  dengan kebijakan moneter yang hanya menggunakan standar emas dan perak, sehingga inflasi nol persen. Disamping memastikan mekanisme pasar berjalan baik dan benar.

Maka dari itu tak perlu dikhawatirkan faktor-faktor penyebab stagnansi ekonomi yang jika hari ini melanda negeri-negeri penganut sistem kapitalisme. Karena dengan sistem ekonomi Islam maka hal-hal tersebut insyaAllah otomatis terhindari. Tentu penerapan ekonomi Islam tak akan bisa kecuali diterapkan secara menyeluruh dalam naungan institusi yang menaunginya, yakni disebut imamah atau khilafah. Karena Allah telah menurunkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bisshowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama