Keputusan Baru Bikin Malu


Oleh : Asma Ramadhani
(Siswi SMAIT Al Amri)

Di awal 2020 ini, pelaku ekonomi dari golongan rakyat Indonesia merasa resah setelah keputusan terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tahun baru yang disambut dengan meriahnya kembang api di langit malam dan suramnya banjir di Ibu kota, memberikan kejutan yang sangat menggemparkan rakyat.

Harapan rakyat yang berkilau di tahun 2020, kini pupus seperti kembang api di langit yang hanya terlihat indah sekejap, setelah itu menghilang digantikan gelapnya langit malam yang pekat. Kenyataan yang bertolak belakang dengan harapan rakyat atas kilau tahun 2020 menerjang seolah banjir yang menyapu keindahan kota Jakarta.

Rakyat menginginkan kehidupan yang semakin baik dengan kabinet yang memerintah saat ini. Namun, rakyat gigit jari ketika mendengar titah mereka dengan keputusan untuk menjalankan rencana pencabutan subsidi LPG Gas Melon 3 Kg. Bukan hanya itu, pencabutan subsidi bagi pelajar tunanetra, guru honorer bahkan kenaikan tarif listrik yang semakin menyengsarakan rakyat.

Pencabutan subsidi Gas LPG 3 Kg dilakukan karena subsidi hanya akan diberikan kepada mereka yang berhak menerima dan terdaftar. Pemerintah berencana untuk membatasi pembelian gas melon menjadi 3 tabung per bulan sebagai hitungan kebutuhan rakyat miskin. Plt. Direktur Jenderal Migas Kementrian ESDM Djoko Siswanto mengatakan bahwa, "... Jika ada pembelian lebih dari itu, pemerintah pantas curiga, jangan-jangan subsidi salah sasaran". Dan harga LPG 3 Kg akan dinaikkan hingga Rp. 35000,-. Dengan adanya pernyataan itu, pemerintah akan mendata rakyat yang termasuk kategori miskin. Akankah pemerintah berlaku adil dalam pendataan tersebut?

Belum lagi dengan pengusiran pelajar tunanetra tingkat SMA dan Mahasiswa dari asrama mereka, yang mengundang aksi unjuk rasa di daerah Bandung. Pelarangan pengangkatan guru honorer baru juga telah dicetuskan oleh Muhadjir Effendy, dengan alibi bahwa dana BOS tidak akan menanggung gaji guru honorer dan akan di alihkan ke Dana Alokasi Umum (DAU) bersama gaji para guru PNS.

Beberapa fakta tersebut menggambarkan bahwa kezaliman terhadap rakyat semakin bertambah setelah konflik tahun lalu yang membuat rakyat khawatir dengan kondisi Indonesia kedepannya. Namun, ini hanyalah fakta kecil yang dihasilkan dari berkuasanya rezim korporatokrasi di bumi pertiwi.

Pencabutan subsidi dengan alasan pengalihan ke dana pembangunan ternyata malah memberi banyak insentif untuk korporasi dan para konglomerat. Dengan bukti bahwa 5 perusahaan sawit besar menerima subsidi hingga 7,5 triliun.

Hal ini tidak lain adalah permainan kapitalis yang lebih mengutamakan para pemilik modal, yang terlihat jelas dengan adanya berbagai kontroversi akibat ulah mereka. Sedangkan keputusan-keputusan yang telah menguntungkan para kapitalis itu sangat tidak benar jika dikatakan sebagai bentuk periayahan (red: pengurusan) pemerintah kepada rakyat. Karena ini bukanlah bentuk tanggung jawab negara, melainkan hanya untuk menahan gejolak rakyat.

Negara justru lepas tangan dengan nasib rakyat yang semakin jatuh dan terinjak-injak oleh berbagai aturan baru. Yang secara nyata aturan-aturan itu mencekik ekonomi rakyat dan dapat mengakibatkan kemiskinan dengan persentase yang tinggi. Lalu, apa bedanya dengan Indonesia di zaman kolonial?

Indonesia yang dulu dan sekarang sama saja dalam segi pemerintahan yang rusak dan nasib rakyat yang buruk. Penerapan sistem pemerintahan yang semakin bebas, membuat rezim semakin "tak berHati" dalam menyengsarakan rakyat. Rakyat saat ini tidak memiliki kedaulatan, mereka semakin sesak dengan ribuan siksaan batin yang dilakoni oleh pemimpin mereka sendiri.

Inilah akibat dari tegaknya rezim korporatokrasi. Kezaliman yang begitu ganas namun dibaluti oleh lembutnya kapas, menghipnotis mereka yang telah larut dalam mimpi indah di atas awan. Alibi untuk menyejahterakan rakyat miskin telah tersingkirkan dengan fakta bahwa rakyat semakin miskin. Dengan bangga mereka koarkan bahwa aturan-aturan mereka itu untuk melayani dan mengatasi pemenuhan kebutuhan rakyat. Namun, diskriminasi justru terjadi. Mereka yang kaya akan semakin kaya, dan mereka yang miskin akan semakin miskin.

Itulah kapitalis,yang sebenarnya menjadi akar dari semua masalah di nusantara. Penerapan sistem yang berpatokan pada materi dan harta saja. Sedangkan yang mampu untuk mengayomi rakyat sesuai dengan kebutuhan dan fitrah manusia bukanlah dipandang dari materi, melainkan keadilan dan kesejahteraan.

Yakni dengan Islam. Islam tidak pernah mengurusi umat (rakyat) dengan diskriminasi dan jajahan. Melainkan dengan melayani rakyat hingga dipastikan tidak ada rakyat yang kelaparan dan melarat. Baik ia muslim ataupun non muslim, karena islam memerintah dengan keadilan. Seperti pada zaman Rasulullah saw dan khalifah-khalifah setelahnya, beliau tidak akan makan ataupun tidur sebelum memastikan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi. Harta bukan menjadi incaran mereka, apalagi kursi jabatan yang bagi mereka justru merupakan beban yang sangat berat. Tidak seperti saat ini, yang memperebutkan kursi jabatan demi harta. Yang sebenarnya mereka memperebutkan jalan mudah untuk menggapai siksa Allah.

Rakyat saat ini butuh pemimpin yang mampu menyejahterakan, bukan yang mampu menyengsarakan. Dan hanya Islam solusinya. Sistem yang hanya bisa diterapkan di dalam daulah Khilafah Islamiyah.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama