Afiyah Rosyad
(Pengajar Sekolah Pra dan Baligh Khoiru Ummah)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat kampanye Pilpres 2019 sangat banyak janji. Salah satunya adalah janji kartu prakerja yang dianggarkan 10 triliun. Sepuluh triliun itu akan diberikan kepada 2 juta penduduk yang menganggur.
Betapa manisnya janji itu. Di saat gaji para guruz karyawan dan pegawai banyak yang tidak sampai UMR. Bahkan para pedagang asongan yang sebulan tidak pasti pendapatannya. Lalu ada janji 10 triliun untuk pengangguran tentu menjadi angin segar. Bahkan ada celoteh lebih baik menganggur saja.
Janji semacam ini tentu saja boleh diucapkan oleh siapapun. Namun konsekuensinya harus ada tindakan nyata untuk merealisasikan.
Menkeu saat ini sedang risau karena janji kampanye tentang kartu pra-kerja junjungannya.
"Salah satu yang di-promise Presiden kala itu kartu pra kerja 10 triliun. Ini saya tanya 'Pak ini gimana caranya?' kemudian Pak Presiden bilang 'Udah pikirin nanti saja, pokoknya kampanye dulu," Sri Mulyani menirukan jawaban Jokowi saat itu, di Jakarta, Kompas. Com, Kamis (31/01/2020).
Sebenarnya, banyak sekali janji lainnya yang tidak terealisasi. Apakah janji prakerja hanya untuk menarik massa kampanye, ataukah sebagai pemanis bagi jiwanya yang bersimbah kegigihan dalam mempertahankan jabatan?
Saat ini, di tengah kehidupan yang sekuler, hukum-hukum Allah diabaikan. Tanpa ada rasa takut dan penyesalan. Sistem kapitalisme menyeret seorang Muslim asik dengan kubangan kemaksiyatan. Kendati penguasa sekalipun.
Janji dalam Pandangan Islam
Sebagian Muslim sangat mudah membuat janji, namun mudah pula menyelisihi janji yang telah dibuatnya dan tidak mau berusaha menepati janjinya. Tindakan semacam ini termasuk dosa atas lisan, dan merupakan salah satu tanda kemunafikan.
Diriwayatkan dari sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Artinya:
“Tanda orang munafik itu ada tiga, pertama jika berbicara berdusta; kedua jika berjanji maka tidak menepati; dan ketiga jika diberi amanah, dia berkhianat.”
(HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)
Oleh karena itu, wajib hukumnya menepati janji. Jangan sampai seorang muslim mengumbar janji palsu. Apalagi hanya untuk mengelabuhi dan mengarah pada kemaksiyatan.
Karena hukum memenuhi janji adalah wajib, dan mengingkari janji adalah haram, maka sudah seharusnya seorang muslim berhati-hati dalam membuat janji. Agar tidak tersematkan ciri munafik dalam dirinya.
Dalam kondisi keimanan yang terjaga, tentu seorang Muslim enggan menebar janji palsu. Terlebih atas kholifah. Sistem pemerintahan Islam tak akan membiarkan kemaksiyatan muncul dan tumbuh subur. Termasuk dalam hal janji.
Kelak di yaumul hisab juga akan dimintai pertanggung jawaban. Berapa banyak orang yang tertipu oleh janji palus yang telah dibuat, akan meminta pertanggung jawaban juga. Sungguh berat adzab Allah di akhirat. Dan kehidupan yang kekal hanyalah di akhirat.
Wallahu A'lam Bish Showab[]