Oleh : Fauziyah Ali
Beberapa waktu lalu, saya sedikit 'gemes'. Pasalnya pas saya membahas masalah Natuna pada Kompetensi Dasar Teks Editorial ada siswa saya yang 'nyeletuk' begini,
"Bu, Natuna itu apa? Kayak pernah dengar?"
Dalam hati bergumam, Ini anak, Natuna itu apa aja tidak tahu, apalagi soal masalah Natuna yang diaku-aku milik China.
Begitu ya, kadang orang lain atau negara lain yang tahu potensi kita. Eh, kitanya nggak tahu. Hadeeuh.
====
Bulan Desember 2019 lalu, Cina bikin ulah. Gara-garanya kapal nelayan Cina datang ke Indonesia dan melanggar batas teritorial. Anehnya, kapal nelayan yang datang ini dikawal kapal perang. So, ini fix bukan hanya untuk mencuri ikan tapi mereka juga mengganggu batas teritorial. Sebenarnya banyak juga sih kapal asing yang 'sliwar-sliwer' di Perairan Natuna. Ada sekitar 1.000 kapal setiap harinya. Tapi kan kapal nelayan yang lain nggak pake dikawal kapal perang segala. Eh, Pak Jokowi baru-baru ini mengatakan datangnya kapal perang Cina untuk mengejar ikan. Lho, ikannya kan punya Indonesia? Koq dikejar? Jadi bingung Eike, Bambang.
Pulau Natuna adalah salah satu kabupaten di Kepulauan Riau yang mempunyai potensi kekayaan alam yang sangat besar. Kandungan ikannya lebih dari 1 juta pertahun. Itu belum yang lain seperti cumi-cumi, lobster, rajungan dan lain-lain. Bisa 'ngebayangin' kan harga per kg nya aja 'mehong' banget. Pantesan, Cina segitunya.
Tapi perlu disadari kekayaan alam Natuna bukan hanya hasil lautnya saja. Cina sendiri memprediksi di bawah perairan Natuna tersimpan cadangan minyak bumi kurang lebih 11 Milyar Barel. Bukankah ini jumlah yang fantastis? Selain itu kandungan minyak, yang membuat Natuna tambah seksi adalah kandungan gas alam yang luar biasa besar dan disebut terbesar di Asia. Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna yang termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) memiliki cadangan 222 Trilyun Cubic Feet (TCT). Negara mana yang tidak tergiur?
====
Walaupun Perairan Natuna berbatasan dengan berbagai negara dan termasuk zona terluar, konvensi intenasional mengakui secara sah, Pulau Natuna adalah milik Indonesia. Pengakuan ini berdasarkan hukum internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Jika ada negara lain ingin merebut wilayah Natuna ini berarti itu adalah ancaman bagi kedaulatan negeri ini. So, mana itu yang suka teriak-teriak soal NKRI harga mati? Apa anda paham soal ini?
Cina ingin merebut 30% wilayah Natuna dan mengakui sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan 9 dash line atau 9 garis putus-putus yang itu mengambil 30% wilayah Natuna. Tapi kan hanya klaim Cina saja. Tentu di mata hukum internasional dianggap tidak sah. Lha, kalau mengaku-ngaku saja itu mudah banget. Tapi kan yang penting buktinya.
Kemarin, itu Cina, maksa banget supaya Indonesia mau mengakui 30 % perairan Natuna masuk dalam wilayah Laut Cina Selatan. It's mean masuk wilayah Cina gitu. Baik Indonesia menerima atau tidak. Ya, jelas harusnya Indonesia tidak terima. Suasana di Natuna jadi semakin panas. Tentara kita juga sudah siap menghadapi Cina. Sampai banyak juga berita beredar kalau antara Cina sama Indonesia sudah adu kekuatan gitu.
Tapi eh malah pejabat-pejabat Indonesia yang entahlah dia itu warga negara Indonesia yang seharusnya menjaga negeri ini ataukah mereka adalah antek-antek Cina? Pejabat-pejabat ini meminta kita jangan berlebihan. Pemerintah minta kita jangan terlalu memandang berlebihan persoalan ini dan mengedepankan posisi Cina sebagai mitra dagang. Terus harus memandang Cina sebagai sahabat. Ladalah...aduh...aduh.... masa ada sahabat mau mencaplok wilayah sahabatnya sendiri. Sahabat macam apa itu?
=====
Usut punya usut ternyata Indonesia jadi selemah ini dan para pejabatnya jadi selembek itu karena investasi Cina di Indonesia berjumlah sangat besar. Menurut Badan Koordinator dan Penanaman Modal (BKPM) Investasi Cina di Indonesia mencapai 14, 322 Trilyun dan mencapai 1.619 proyek. Tapi sangat disayangkan investasi banyak yang berbentuk hutang. Kalau mau berpikir kritis mah, jika tak mampu bangun infrastruktur sekunder ya sabar dulu. Jangan memaksakan diri, 'ngoyo-ngoyo' dari hasil hutang. Hutangnya ada ribanya pula. Ribanya besar pula. Ya, jadi tambah terjerumuslah negeri ini. Sudahlah hutang kita tambah banyak, negara pemberi hutang akan seenaknya menekan Indonesia untuk menyetujui proyek-proyek mereka.
Ini kan negera kita sendiri. Harusnya kita boleh dan bisa mengurusinya sendiri. Negeri-negeri luar tak perlulah ikut campur. Menjaga kedaulatan wilayah masing-masing adalah sesuatu yang wajib dilakukan.Tapi kan Cina itu negara yang kuat. Jadi Indonesia tidak mampu melawannya. Wes, begini aja jalan tengahnya biarlah Indonesia kerjasama dengan Cina dalam mengelola Natuna. Lho, seriusan solusinya begitu? Kalau Indonesia saja yang mengelola Natuna gimana? Tanpa Cina. Masak Indonesia tidak mampu? Atau jangan-jangan Indonesia sering dilemahkan, mentalnya udah diblok aja, dikatakan Indonesia pasti tak mampu. La dalah, jadi tergambar jelas deh kalau mereka itu penjajah yang rakus.
Para netizen yang baik hatinya, Natuna fix milik Indonesia ya. Ya harus kita jaga. Karena Natuna adalah milik Indonesia dan dikelola Indonesia saja itu sudah seharusnya. Lantas bagaimana kita bisa menghindari Cina yang menekan seperti itu ya lawan, tak perlu berhutang pada Cina untuk membuat infrastruktur sekunder secara berlebihan. Toh, terbukti hutang kita pada Cina menjadi semakin melemahkan posisi Indonesia.
Lalu untuk melawan Cina itu diperlukan ada negara besar pembanding yang kekuatannya diakui dunia. Negara ini bukan negara yang serakah tapi negara yang menginginkan kebaikan bagi seluruh alam tidak hanya menguntungkan satu negara dan menjajah negara yang lain. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islam. Negara yang diprediksikan akan tegak tahun 2020. Insya Allah.
Wallahu 'Alam Bisshowab.