Oleh: Dede Yulianti
(Muslimah Peduli Negeri)
Borok sistem kapitalisme liberal, semakin terpampang nyata. Berbagai perilaku bejat tak bermoral menjadi santapan berita setiap hari, bak kacang goreng. Sangat memalukan, seorang warganegara Indonesia dihukum penjara seumur hidup di Inggris karena melakukan pemerkosaan sebanyak 190 korban, laki-laki dan perempuan. Na'uzubillahi min dzalik.
Di dalam negeri sendiri, kasus-kasus pemerkosaan dan sodomi marak terjadi pada anak-anak. Jengah, murka, sedih mengiris batin, mendapati fakta ratusan anak-anak menjadi korban perilaku asusila. Bukan orang lain, pelakunya justru orang-orang terdekat korban. Tetangga, paman, kakek, ayah tiri, bahkan ayah dan saudara kandung tak luput menistakan darah dagingnya sendiri.
Tak sedikit korban yang telah beranjak dewasa. Trauma, malu, minder, depresi hingga percobaan bunuh diri menjadi akibat kebejatan pelaku. Bayangkan ratusan bahkan lebih, anak-anak tersebut tumbuh dalam kondisi tertekan, hancur masa depannya. Dibayang-bayangi kelamnya masa lalu, bahkan tak lepas dari obat-obat penenang. Fatalnya sebagian dari korban bermetamorfosis menjadi pelaku, sebagai pelampiasan dendam. Rantai setan yang terus berkelanjutan, tak mampu diputuskan hingga kini.
/Akibat Racun Kebebasan Berperilaku/
Sulit rasanya mengatakan sistem hidup saat ini baik-baik saja. Bencana moral luar biasa melanda dunia. Inilah fakta menyakitkan, sebagai buah dari racun kebebasan berperilaku yang dijunjung di balik kata hak asasi manusia. Produknya manusia-manusia bak mayat hidup, kering dan kosong dari hati nurani, otaknya dijejali dengan syahwat, porno dan mesum.
Kaum ibu kehabisan akal menjaga putra putri yang susah payah dibesarkan. Bak buah simalakama, dibiarkan bergaul di luar, ngeri. Di dalam rumah saja, pun tak mungkin. Sebab manusia makhluk sosial yang pastinya butuh keluar rumah. Sementara tak jarang, melambungnya biaya hidup, menuntut ibu berpikir seribu kali untuk turut membantu suami agar dapur tetap mengebul. Menambah berat tanggungjawab sebagai ibu di era ini.
/Menjaga Fitrah Anak/
Lalu, apakah kita hanya bisa pasrah saja menghadapi kenyataan pahit ini? Betul, sebagai orang tua, banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah anak menjadi korban ataupun pelaku. Islam adalah panduan yang sempurna untuk memelihara anak-anak terjaga fitrahnya.
Menjelaskan batasan aurat, menjaga pandangan dari aurat orang lain, membiasakan buang air dan berganti pakaian di kamar mandi, konsep mahrom non-mahrom, apa yang boleh dilihat dan apa yang boleh dilakukan oleh mahrom dan non-mahrom, menanamkan rasa malu, mengajarkan adab, memisahkan tempat tidur sejak usia tamyiz, membiasakan meminta izin masuk ke kamar orangtua, menjaga informasi yang masuk ke telinga, mata dan pikiran anak-anak agar tidak rusak fitrahnya, membiasakan berkomunikasi dengan baik sehingga anak tidak takut dimarahi jika bercerita pada orangtuanya.
Juga yang terpenting menanamkan aqidah yang kuat. Keyakinan bahwa kebahagiaan hidup hanya dapat diraih dengan taat kepada Allah SWT. Sebaliknya, kesengsaraan saja buah dari ketidaktaatan. Kontrol diri agar anak tidak mudah terseret arus kebebasan yang merusak fitrahnya.
Namun, menjadi manusia baik saja tidak cukup. Di tengah buasnya kehidupan liberal, predator berkeliaran tak pandang bulu. Anak-anak yang dibiarkan ataupun yang dijaga, tak luput dari terkaman mereka. Asal mampu melampiaskan nafsu bejatnya, mereka tak ambil pusing.
/Butuh Hukum Syariat/
Mau tak mau, menghentikan laju kerusakan ini hanya bisa dilakukan oleh pemangku kekuasaan. Lazim, sebagai orangtua mendengar korban anak-anak malang berjatuhan, menuntut hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku, yaitu hukuman mati. Sayangnya hukum yang ada, jauh dari terpenuhinya rasa keadilan. Banyak pelaku yang tertangkap. Namun lebih banyak lagi yang melakukan perbuatan serupa. Alih-alih menghentikan, hukuman penjara tak pernah bisa membuat jera.
Walhasil semakin jelas terasa, hukum Islam satu-satunya yang sesuai dengan fitrah manusia. Jangankan pemerkosaan, zina suka sama suka saja dihukum. Tak ada jalan lain, hukuman pemerkosaan hanyalah hukuman mati. Tak ada ceritanya pelaku bisa berkali-kali melakukan kebejatannya. Penularan penyakit kelamin pun diputus rantainya.
Hukuman yang adil baik untuk korban, maupun pelaku. Korban tak akan dibayangi dengan kehadiran pelaku yang masih bernafas. Bagi pelaku pun ada keadilan. Hukum Allah yang diberlakukan di dunia, akan menghapus hukuman di akhirat. Tak sia-sia kehilangan nyawa, di akhirat kelak tak akan disiksa karena hukumannya didahulukan di dunia. Inilah fungsi hukum syariat sebagai 'jawazir' dan 'jawabir' yaitu pencegah dan penebus. Maka wajar, di masa Rasulullah Saw ada seorang perempuan yang mengaku berzina dan menuntut dihukum oleh beliau.
/Butuh Pemimpin Adil/
Selain sistem hidup yang benar, terjaganya fitrah manusia juga memerlukan orang yang benar dalam menerapkan hukum. Hukum diberlakukan sama bagi setiap orang. Tidak tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Kholifah Umar bin Khattab pernah memberikan hukuman cambuk bagi anaknya. Abu Syahmah namanya, yang telah memperkosa seorang wanita, karena mabuk setelah disuguhi minuman keras di rumah orang Yahudi. Hukuman dilaksanakan di hadapan khalayak ramai sebanyak 100 kali cambukan hingga anaknya tewas. Wanita tersebut hamil dan melahirkan, kepadanya diberikan 30 Dinar, setara dengan kurang lebih 63 juta rupiah, jika harga emas 1 gram 500 ribu. Serta sepuluh helai pakaian.
Memang, di dalam sistem hidup Islam sekalipun memungkinkan terjadi pelanggaran. Namun jumlahnya tidak sefenomenal seperti saat ini. Satu kali pelanggaran langsung dihukum, mencegah kejadian berulang. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme saat ini, pemerkosaan terjadi, hitungannya bukan lagi setiap hari. Bahkan permenit.
Oleh karena itu langkah nyata menghadapi situasi saat ini, selain menjaga dan melindungi anak-anak dengan didikan sesuai syariat Islam. Juga penegakkan hukum berdasarkan syariat Islam. Satu-satunya yang akan mengakhiri kecemasan yang melanda para ibu.[]