Kerajaan Halu, Fantasi dari Harapan yang Tak Terwujudkan


Novianti
(Pengamat dan Praktisi Pendidikan)

Beberapa waktu lalu viral kemunculan Kelompok Keraton Agung Sejagat (KAS)  di Purworejo yang mengklaim sebagai kerajaan baru setelah 500 tahun berakhirnya imperium Majapahit. Anggota diperkirakan mencapai 450 orang. 
Publik kembali dikejutkan dengan kehadiran susulan  kerajaan-kerajaan lain seperti Sunda Empire State dan Kesultanan Selacau Patrakusumah Tasikmalaya.
Kelompok-kelompok seperti ini umumnya menyasar kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tercium aroma  penipuan dari kerajaan-kerajaan dadakan ini karena para pengikutnya dimintai setoran dengan besaran yang bervariasi. Bahkan ada yang rela menggelontorkan uang 30  hingga 110 juta dengan iming-iming mendapat jabatan  bergaji dalam bentuk dollar.

Perkembangan  terakhir, para pejabat KAS mengakui kalau kerajaan mereka hanyalah fantasi alias halu (detik.news, 20/01/2020).  Toto dan Fanni, pasangan raja dan ratu hanya menjabat selama sepekan. Baju kebesaran sudah tidak bisa lagi mereka kenakan apalagi mahkota kerajaan. Keduanya sudah berganti kostum dengan baju tahanan. Dan penangkapan ini memupuskan harapan pengikutnya memperoleh jabatan dengan gaji menggiurkan.

Meski kemunculan kerajaan-kerajaan kecil ini aneh bagi sebagian besar orang dan nyeleneh namun menarik untuk dicermati.  Mengapa ada orang-orang yang tertarik menjadi para pengikutnya.  Bahkan ada ASN, guru, perangkat desa termasuk di dalamnya.

Tidak ada perbuatan tanpa motif. Bisa jadi para pengikut bukan sekedar barisan sakit hati  melainkan mereka yang sedang mengalami kegelisahan akan berbagai permasalahan sosial yang tidak mampu diselesaikan oleh negara
Bagaimana  tidak resah,  di awal tahun saja rakyat sudah mendapat kado pahit. Kenaikan BPJS, tarif listrik, tarif toll, rencana kenaikan gas melon, yang otomatis mengerek harga  berbagai kebutuhan lainnya.  Alih-alih dipikirkan oleh para pejabat yang baru  terpilih, justru rakyat dipertontonkan berbagai megakorupsi dan dagelan permainan hukum. Begitu mudahnya rakyat kecil dipidanakan, tapi tidak bagi para pejabat.

Kebutuhan mendasar rakyat akan kesehatan, pendidikan  yang seharusnya diberikan gratis kepada rakyat tanpa pilih kasih dialihkan menjadi pelayanan komersil. Akhirnya rakyat urunan, gotong royong mengambil alih tugas  negara. Namun kemampuan rakyat pasti terbatas karena pengelola kekayaan alam yang melimpah ruah ada pada negara. Apesnya, kekayaan itu  jadi rebutan penguasa dan pemilik modal.  Kepentingannya hanya mencari keuntungan dengan cara-cara buatan mereka. Kedzaliman menjadi legal, aturan sekedar menutupi praktek kerakusan.

Sementara kaum penjahat begitu ganasnya memangsa korban.  LGBT, pemerkosaan, pembunuhan, menjadi berita setiap hari. Rakyat cemas, para ayah dan ibu penuh kekhawatiran, seolah tak ada lagi tempat yang aman bagi manusia untuk hidup baik dan benar. Keringat bahkan harta sudah dipertaruhkan lewat pemilu yang diharap membawa perubahan. Apa mau dikata, habis  manis sepah dibuang.  Pemilu usai, pejabat pesta pora bagi-bagi jabatan.  Rakyat dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Tidak  heran  rakyat jengah, lelah  bahkan ada yang bunuh diri karena kehilangan harapan atau meninggal karena keadaan. Kerajaaan-kerajaan fiktif  seolah memberikan impian  baru.  Bagaikan Ratu Adil yang akan menyelesaikan semua permasalahan. Tapi lagi-lagi rakyat tertipu karena semua hanya halu.

Tak dipungkiri, keadaan sekarang begitu melelahkan jiwa karena bertahun-tahun rakyat jadi sapi perahan bagi para penguasa dan pemilik modal. Jurang kaya-miskin semakin lebar. Banyak rakyat miskin bukan karena lemah kerja melainkan dimiskinkan dan dibodohkan oleh keadaan.

Rakyat merindukan perubahan, sebuah tatanan kehidupan dimana mereka diayomi, diurus oleh penguasa bak ayah pada anak-anaknya. Semua berkedudukan sama untuk memperoleh perlindungan  agama, akal, jiwa, darah dan harta. Rakyat berharap seorang pemimpin yang hadir di tengah kesulitan mereka. Bekerja bukan untuk pencitraan melainkan tindakan riil untuk menyejahterakan rakyat. Bebas dari berbagai kepentingan yang akan menjerat kewenangannya.

Rakyat begitu rapuh  dalam keadaan sakit yang perlu diobati. Kehampaan jiwa, kebuntuan akal dan  kebutuhan mendasar sebagai manusia harus dipenuhi. Dan satu-satunya obat yang manjur   haruslah bersumber dari Dzat yang menciptakan manusia  yaitu  Allah Subhana wa Ta’ala.
Allah telah menurunkan seperangkat aturan hidup yang lengkap dan dijamin tak akan pernah mengecewakan. Bahkan Allah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman yang  menerapkan semua hukum-hukumNya, mereka akan berkuasa di muka bumi ini dengan limpahan keberkahan.  Berhukum pada hukum Allah adalah kewajiban:

”Dan hendaklah kamu berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayaimu atas sebagian yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (49) Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik dari Allah (dalam menetapkan hukum)  bagi orang-orang yang yakin (50)”.  (QS Al Maidah 49-50)
Ayat di atas menegaskan selama manusia masih berhukum pada hukum buatan manusia, musibah demi musibah karena perbuatan manusia sendiri tak akan berhenti. 

Sehingga saatnya manusia segera tersadarkan untuk hidup dengan tatanan yang bersumber dari wahyu Ilahi. Kegelapan akan berganti dengan cahaya, duka akan berganti dengan bahagia. Tak ada hidup yang lebih bermakna kecuali dalam ridlo Dzat pemilik alam semesta.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama