Kehadiran Komprador dalam Garam Impor


Syarifa Asillah

Pada 2020 alokasi kuota impor garam bakal bertambah dibandingkan 2019. Diari 2,75 juta ton (di tahun 2019) jadi 2,92 juta ton (di 2020) naik 6%. Menteri kelautan dan perikanan Edhy Prabowo meminta kepada semua pihak agar tak meributkan keputusan pemerintah untuk kembali membuka kran impor (kompas.com, 17/01/2020).

 Izin tersebut diberikan kepada 55 perusahaan. Terdiri dari 10 perusahaan pengolahan garam, dua perusahaan Chlor Alkali Plant (CAP), sembilan perusahaan kertas, serta beberapa perusahaan kosmetik, farmasi, dan pengeboran minyak.(katadata.co.id, 5/11/19)

Padahal menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi produksi garam dalam negeri belum semuanya terserap oleh industri. Saat ini ada 1,1 juta ton stok produksi  garam lokal yang menunggu pembeli. Ia khawatir bila terlalu lama disimpan di gudang maka stok akan makin melimpah, dan harganya makin menukik turun. Untuk saat ini saja harga garam lokal hanya bertengger di harga 200/kg-300/kg. Sedang harga pokok produksi (HPP) mencapai 900/kg.

Impor terjadi disebabkan banyak faktor, mulai dari kualitas garam industri yang di produksi dalam negeri, tidak ketersediaan produksi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan industri, faktor lingkungan, iklim (cuaca, kelembaban, angin, dll) hingga regulasi  yang tak mendukung.

Garam yang di impor pemerintah adalah garam untuk kebutuhan industri. Salah satu penyebabnya garam impor memiliki kadar natrium klorida (NaCl) 95-98%. Sementara, kadar NaCl garam dari petambak masih di bawah 94%, Minimnya lahan yang di miliki petani  juga menjadi penyebab rendahnya kualitas garam lokal karena luasnya lahan memengaruhi tingkat kemurnian atau impuritas garam lokal. Impuritas garam lokal hanya mencapai 95%, sementara kebutuhan impuritas garam oleh industri Chlor Alkali Plant (CAP) mencapai 99%. Sehingga garam lokal sulit diserap oleh industri lantaran tingkat kemurniannya yang tidak sesuai dengan standar industri.

Ketersediaan bahan baku air laut belum didukung penuh oleh ketersediaan lahan untuk memproduksi garam. Pantai sering kali di buka untuk pariwisata. Di lansir dari CNBC.Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun lahan garam telah menyusut 6.577 ha atau menyusut 19,5%. Artinya per tahun, lahan untuk tambak garam menciut 1,4%.

Begitu pun dengan faktor lingkungan buruknya kualitas air laut akibat sampah dan polutan mempengaruhi kualitas garam yang di hasilkan. Juga faktor cuaca pasalnya proses pembuatan garam di Indonesia masih  bergantung pada panas matahari. Jadi jika musim hujan maka produksi menurun.

Walau kini ada metode untuk membuat  garam berkualitas baik dari segi tingkat kemurnian yang tinggi maupun proses pengkristalan yang tak di pengaruhi oleh cuaca. Jika menggunakan metode ini dapat menghasilkan 400 ton per ha, sedang jika menggunakan metode konvensional hanya 80 ton/ha.

Namun petani sulit menggunakan metode ini karena terkendala biaya, Kurangnya lahan dan kurangnya sosialisasi pemerintah.Regulasi yang ada pun tidak begitu berpihak pada petani garam. Petani hanya dapat menjual garam mentah  karena garam yang di perdagangan adalah garam wajib SNI. Sedang rumitnya persyaratan memperoleh ijin perdagangan garam sehingga petani tidak mampu membuat nilai tambah sendiri untuk meningkatkan nilai jual padahal peningkatan nilai tambah garam bukan sesuatu yang rumit dan berteknologi tinggi. Namun regulasi yang ada hanya menguntungkan  para tengkulak, Industri distributor dan mata rantai perdagangan. Di petani harga garam hanya sekitar Rp 300/kg sedang jika sudah di olah harga di pasar dapat mencapai Rp 2000/ kg. Petani garam keuntungannya jauh di bawah dibanding pengusaha kartel, akhirnya banyak petani yang gulung tikar dan menjadi salah satu penyebab turunnya produksi garam.

Belum lagi aturan Permendag No.88 tahun 2014 yang membuat garam konsumsi hasil produksi petani rakyat yang pada awalnya dapat dipakai untuk aneka pangan, pengasinan ikan dan penyamakan kulit kini hanya bisa digunakan untuk pangan saja, membuat garam lokal tak punya pangsa pasar yang luas.

Jadi agar pemenuhan kebutuhan garam industri dapat terpenuhi, maka dibutuhkan upaya peningkatan produksi garam, mulai dari perbaikan teknologi produksi garam, perbaikan sistem panen, perluasan lahan garapan hingga sistem penyimpanan garam agar kualitas, produktifitas garam industri lokal dapat memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan memperkuat industri garam nasional serta membuka akses pemberdayaan petani garam agar produksi garam meningkat.

Tapi masalahnya adalah banyak pihak yang berusaha untuk mencari keuntungan dari impor.  Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti bahkan tidak menepis anggapan adanya peran kartel. Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim yang juga pengajar mata kuliah Agrobisnis di Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim,  mengatakan dibalik kebijakan impor ada pihak-pihak yang di untungkan seperti kartel, mafia, dan perburuan rente ekonomi lewat bisnis impor garam.

Mereka ialah kaum komprador dari birokrasi maupun politisi yang mencari rente ekonomi di balik bisnis impor garam. Pada tahun 2015 bos importir garam PT. GSA  Surabaya di tangkap karena melakukan suap perizinan dan kuota impor garam di Kemendag.

 Adanya main mata antara pengusaha ( para importir) dan penguasa (pembuat kebijakan impor). Sehingga kebijakan ini hanya menguntungkan para kartel pebisnis garam menumpuk kekayaannya hasil rampok dari impor garam.

Sistem saat ini hampir di semua bidang pengelolaannya di serahkan kepada swasta baik individu maupun asing seperti infrastruktur, SDA, listrik, pengadaan barang dan jasa, semua masih bergantung pada asing. Tugas pemerintah adalah memenuhi hajat hidup masyarakat termasuk petani, sehingga kebijakan yang di berikan seharusnya menyejahterakan. Tetapi melalui kebijakan impor malah mematikan petani.

Ini semua terjadi karena saat ini sistem yang di terapkan di Indonesia berideologi kapitalisme sekularisme yang bernafaskan neoliberal dimana  pengelolaan negara di berikan secara bebas kepada para korporasi sedang negara hanya regulator yang bertugas membuat regulasi untuk memudahkan para kapital melenggangkan bisnisnya. Para elite kekuasaan tunduk kepada kapitalis (pemilik modal). Alasannya karena simbiosis mutualisme antara mereka. Calon penguasa membutuhkan dana besar untuk menduduki jabatan, pengusaha memberi dana dan timbal baliknya adalah membuat kebijakan yang menguntungkan bisnis para pengusaha tersebut.

Pandangan Islam
Dalam Islam perdagangan ekspor  impor adalah boleh karena merupakan bagian  aktivitas perdagangan yang masuk pada aspek muamalah baik secara bilateral maupun multilateral.  Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” [QS: al Baqarah : 275].
Impor di perbolehkan jika dibutuhkan  untuk memenuhi kekurangan stok produksi dalam negeri.

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat tidak boleh ada pengabaian atas hak rakyat seperti dengan mengambil kebijakan yang dapat menyengsarakan rakyat. Pentingnya tanggung jawab seorang penguasa dalam  mengurusi rakyat termasuk persoalan kebijakan  impor. Islam melarang penguasa yang berbuat dzhalim dan merugikan rakyat . Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat ‘azab yang pedih.” [QS. Asy-Syuuraa : 42].

Negara hadir secara penuh dalam pemeliharaan urusan rakyat, seperti dalam hadis Rasulullah Saw: “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Tanggung jawab ini mutlak diemban oleh Khilafah tanpa boleh dialihkan pada pihak korporasi. Pemerintah menjalankan roda pemerintahan berdasarkan aturan dari sang illahi Allah SWT atas dasar keimanan.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama