Oleh: Erna Ummu Azizah
(Ibu Peduli Umat)
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Masih segar dalam ingatan bagaimana Pemerintah menaikkan iuran BPJS hingga 100%. Belum lagi tarif listrik dan tol yang bakalan naik. Kini rakyat kembali harus menelan pil pahit dengan rencana kenaikan harga LPG akibat pencabutan subsidi.
Seperti yang diberitakan baru-baru ini. Pemerintah berencana untuk menghapus subsidi harga LPG 3 kilogram (kg). Rencana ini dicanangkan pemerintah untuk mengatasi masalah pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran. (Kompas, 16 Januari 2020)
Salah satu agen distributor gas LPG untuk wilayah Jakarta memperkirakan gas melon nantinya akan sampai di tangan konsumen dengan harga Rp 40-45 ribu. (Republika, 16 Januari 2020)
Dalam hal ini, jelas kondisi masyarakat pendapatan menengah rentan miskin yang akan paling terpukul. Bahkan, dengan naiknya harga LPG 3 kg berpotensi menjerumuskan masyarakat kelas menengah yang rentan ke level miskin.
Bukan hanya itu, rencana pemerintah inipun dinilai sangat merugikan industri mikro dan kecil. Karena kebanyakan industri ini masih menggunakan gas 3 kg dalam usahanya untuk mengurangi biaya produksi.
Seperti diketahui subsidi gas nantinya akan diberikan pemerintah dengan skema tertutup atau langsung ditujukan kepada masyarakat miskin. Meski belum diputuskan, pihak ESDM memperkirakan masyarakat yang layak mendapat subsidi adalah yang penggunaan maksimalnya 3-4 tabung gas melon dalam sebulan.
Otomatis para pedagang kecil yang konsumsi LPG-nya berkisar antara 30 sampai 60 tabung per bulan, itu jelas tidak masuk dalam skema subsidi Pemerintah. Maka bisa dipastikan belanja gas yang harus mereka keluarkan akan meningkat.
Mau tak mau biaya produksi akan menjadi tinggi. Hal ini berarti harga jual akan menjadi tinggi pula. Lagi-lagi, rakyat kecil juga yang kena imbasnya. Karena biasanya akan ada efek domino yang menyertai kenaikan harga ini.
Sudahlah harga sembako mahal, harga-harga kebutuhan lainnya pun pada naik. Dan biasanya jika sudah naik, akan sulit untuk turun kembali. Sedangkan upah tak kunjung ada perubahan, bahkan banyak pula yang masih pengangguran.
Wajar jika rakyat semakin menjerit. Karena beban hidup kian sulit. Kebijakan yang diharapkan mampu mensejahterakan justru malah mematikan. Sungguh miris dan ironis.
Beginilah hidup di sistem kapitalis. Hubungan penguasa dan rakyat ibarat penjual dan pembeli, yang dipikirkan hanya untung dan rugi. Sangat jauh dari kata melayani dan mengayomi, tak peduli meski rakyat menderita dan mati.
Padahal, penguasa itu adalah pemimpin yang mestinya mengurus bukan malah menzolimi rakyat. Karena itu adalah amanah yang pertanggungjawabannya berat dunia akhirat.
Sungguh, umat begitu merindukan penguasa yang amanah seperti Kholifah Umar bin Khattab. Kisah-kisah heroik kepemimpinannya tercatat dalam tinta emas sejarah peradaban Islam.
Jangankan rakyatnya dari kalangan manusia, nasib seekor keledaipun tak luput dari perhatian sang Kholifah dengan pernyataannya yang terkenal, “Seandainya seekor keledai terperosok karena jalanan berlubang di kota Baghdad, maka aku sangat khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban.”
Keseharian Sayyidina Umar dan para Kholifah setelahnya memang benar-benar mencerminkan kesadaran ruhiyah yang sangat tinggi. Keimanan dan ketakwaan menuntun setiap kebijakan yang mereka tetapkan tak keluar dari koridor syara’ dan tak menzolimi rakyatnya.
Hasilnya, rakyat yang ada di bawah kepemimpinan mereka bisa merasakan hidup sejahtera dan mulia. Itulah ketika sebuah negeri diterapkan sistem Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah Rasyidah.
Sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalis dan segera beralih kepada sistem Islam yang terbukti selama berabad-abad mampu mensejahterakan. Sehingga tak ada lagi cerita rakyat menderita akibat kezoliman. Wallahu a'lam.[]