Benarkah Jilbab Tidak Wajib Bagi Muslimah?



Oleh Amma Faiq

Jakarta, 16 Januari 2020. Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab (seleb.tempo.co/16/01/2020). Ia mencoba mentafsirkan ayat Alquran secara kontekstual tidak secara tekstual. Menurutnya, makna jilbab sudah dipengaruhi budaya dan pandangan orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi. Hal ini sontak menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Bagi mayoritas muslim khususnya muslimah pemakai jilbab, jilbab merupakan bagian dari perintah agama. Namun bagi kalangan Islam moderat atau bahkan Islam Nusantara mereka meyakini bahwa jilbab adalah budaya Arab. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai jilbab?

Tak dapat dipungkiri bahwa kewajiban seorang muslimah untuk menutup aurat merupakan suatu perintah yang jelas, tegas dan gamblang. Hal ini banyak ditemukan dalam dalil-dalil Alquran dan As-sunah (Hadits). Bahkan para ahli fiqh (fuqaha) dan tafsir terdahulu telah menjelaskannya didalam kitab-kitab mu'tabar. Didalam Alquran, perintah untuk menutup aurat dan menggunakan jilbab terdapat pada QS. 24:31, QS.7:31, QS.33:59, QS.33:53, QS.70:29-30, QS.7:22. Dalam hadits, perintah ini juga terdapat didalam HR. Abu Dawud no. 4104, no. 4017, HR. Al Baihaqi no. 3218, HR. Tirmidzi no. 2794, HR. Nasa'i no. 8923, HR. Ibnu Majah no. 1920. Bahkan terdapat lapangan bagi muslimah untuk keluar rumah tanpa menutup aurat dan menggunakan jilbab. Hal ini terdapat pada HR. Bukhori no. 351 dan HR. Muslim no. 890 dan no. 2128.

Adapun jilbab, dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya. Jadi dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus. Asy Syaukani menuliskan bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar (kerudung). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perintah menggunakan jilbab merupakan perkara yang fundamental bukan perkara furu' (cabang) sebagaimana yang dihembuskan oleh kaum liberal dan moderat.

Terlebih lagi, bagi seorang muslim, wajib hukumnya menyandarkan semua aktivitasnya kepada syariat Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam serta para sahabat beliau saw. Bukan bersandar kepada tokoh atau figur manusia lain. Adanya fenomena pentafsiran Alquran secara kontekstual merupakan hasil dari pemikiran liberal sekulerisme. Dimana manusia berusaha memisahkan urusan agama dari kehidupan. Arus liberalisme dan sekulerisme semakin kuat sebab didukung oleh rezim yang anti syariat Islam. Bahkan membenci dan memusuhi Islam lantaran tidak ingin kekuasaan mereka berpindah ke pihak para pengemban dakwah Islam. Upaya mentafsirkan ulang Alquran juga merupakan upaya untuk menghadang kebangkitan umat Islam khususnya yang ingin menegakkan kembali syariat Islam secara totalitas. Mereka ingin masyarakat khususnya kaum muslimin semakin jauh dari ajaran-ajaran Islam.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan sikap kepemimpinan yang Rasulullah SAW ajarkan. Tidak hanya sebagai nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara menjamin semua warga negara khususnya muslimah untuk terjaga auratnya. Beliau SAW memfasilitasi agar para muslimah dapat menjalankan aktivitasnya dengan menggunakan khimar (kerudung) dan jilbab (Jubah). Sehingga kehormatan mereka tetap terjaga. Rasulullah SAW juga menjamin keamanan bagi seluruh warga negara khususnya para muslimah. Itulah gambaran kehidupan masyarakat ketika Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah). Islam hadir untuk memberikan rahmat dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yakni menghamba hanya kepada Allah SWT semata. Yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur segala aktivitas manusia demi kebaikan hidup umat manusia. Wallahu a'lam bishowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama