Petaka Gadget di Era Milenial



Oleh : NS. Rahayu

Perkembangan teknologi di era milenial ini sangat pesat, salah satu contohnya adalah gadget (hp, smartphone, tablet, laptop). Saat ini gadget menjadi kebutuhan penting untuk mempermudah pekerjaan, komunikasi dan mencari informasi.

Teknologi canggih satu ini mampu menembus lini kehidupan di tengah masyarakat bak makanan pokok, selalu dan menerus dibutuhkan tanpa bisa dibendung. Baik oleh kalangan orang dewasa dengan ragam kepentingannya, bahkan anak-anak usia dasar (TK, SD) tak lekang dengan gadgetnya. Lebih tepatnya generasi ini cenderung memiliki ketergantungan pada gadget.

Penggunaan gadget ketika hanya sebatas kebutuhan maka akan memberikan banyak kemudahan, kebaikan bahkan keuntungan, tapi banyak juga yang justru memberi pengaruh negatif pada penggunanya. Ketergantungan ini membuat mereka kecanduan sehingga tidak mau lepas dari gadget akibatnya kehidupan sosialnya mati tergantikan dengan gadget bahkan hingga tidak peduli juga dengan keluarga. Tanpa gadget seakan hidupnya berhenti dan tidak ada artinya. Bahkan ada yang mengalami gangguan kejiwaan dan menjadi petaka bagi dirinya.

Sebagaimana yang diberitakan RadarBromo:
Tragis nian cara AA, 11, mengakhiri hidupnya. Pelajar di Desa Banjarkejen, Kecamatan Pandaan ini, ditemukan tewas, Minggu (17/11) pagi. Dia mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di dapur rumahnya.

Sekitar pukul 13.00 siang, pelajar kelas VI di madrasah di Desa Banjarkejen tersebut akhirnya dimakamkan di TPU dusun setempat. “Motif korban nekat gantung diri. Dugaan kuat karena frustasi HP disembunyikan orang tuanya. Karena selama ini kecanduan main game via HP,” kata kanitreskrim. (Radar Bromo.co.id, 17/11/2019)

Peristiwa di atas hanya sebagian kecil yang terekspos media, banyak peristiwa lainnya dan berulang terjadi bahkan peningkatannya cukup tajam. Kecanduan gadget mengarah pada penyimpangan prilaku dan penyimpangan kehidupan sosial. Menurut psikolog Ni Made Diyah Rinawardani :

Bak dua sisi mata koin, kemajuan teknologi memberikan berbagai kemudahan. Di sisi lain, berpotensi menimbulkan dampak psikologis tersendiri. Pun, angka anak kecanduan gadget di Pacitan terus meningkat. ‘’Saat ini ada empat pasien yang rutin datang ke saya,’’ kata Ni Made Diyah Rinawardani, salah seorang psikolog, Kamis (21/11).

Ni Made memerinci, pada 2017 terdapat 11 pasien, 2018 naik menjadi 14, dan tahun ini mencapai 26 pasien. Puluhan pasien tersebut memiliki rentang usia TK sampai SMP. Sementara, jenis kecanduan gadget yang dialami adalah game dan pornografi. ‘’Tingkat kecanduannya sudah parah,’’ ungkapnya.

Ni Made menyebut ada beberapa penyebab anak menjadi kecanduan gadget. Di antaranya, kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua. Pun, kecenderungan memfasilitasi mereka gadget agar tidak rewel. Akhirnya, kalau sudah kecanduan merasa lebih nyaman dengan peranti telekomunikasi tersebut. ‘’Kecanduan gadget itu lebih bahaya daripada kecanduan narkoba,’’ pungkasnya. (Radarmadiun.co.id, 22/11/2019)



Petaka Gadget Buah Sekulerisme

Melihat fakta petaka gadget yang terus meningkat, hal ini tidak terlepas dari penerapan sistem sekuler kapitalis oleh Negara saat ini. Sistem yang sejak awal lahirnya sudah rusak karena memisahkan agama dari kehidupan sekaligus dibangun berdasarkan asas manfaat tidak begitu mempedulikan kerusakan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi gadget. Karena tujuannya semata keuntungan.

Sistem ini telah melepaskan gadget sebagai hasil produk iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) ditengah masyarakat tanpa terlebih dulu membangun imtak (keimanan dan ketakwaan) bagi warganya. Sehinga mereka labil dengan serbuan kecanggihan teknologi. Karena nilai kerusakan yang ditimbulkan gadget cukuplah besar dan berbahaya, baik ketika berada dalam gengaman orang dewasa terlebih anak-anak yang masih memerlukan perhatian besar.

Keimanan dan ketakwaan adalah benteng penangkal dan rambu-rambu aturan yang jelas batasannya. Sehingga rakyat mampu memilih konten yang tidak mematikan sifat fitrah dan akal manusia. Sehingga gadget tidak mampu merusak prilaku moral, akhlak dan akan manusia karena hanya digunakan sesuai kebutuhan saja.

Namun, dalam sekulerisme justru membuat banyak kerusakan karena keimanan hanya dianggap sebagai ranah individu yang negara tidak perlu ikut campur tangan di dalamnya. Sistem ini menjadi penyebab peremehan penguatan keimanan warganya dan membiarkan mereka tanpa benteng yang tangguh ketika digelontor iptek.

Diperlukan peran agama sebagai bekal imtak yang langsung diurusi oleh negara untuk penyeimbang deras arus iptek di era milenia ini.

Islam penangkal kerusakan

Islam agama yang sempurna, karena memiliki aturan kaffah (menyeluruh) dan sempurna. Sistem Islam mampu menyelesaikan semua permasalahan yang muncul, aturan ini sekaligus menjadi acuan bagi umat baik individu, masyarakat maupun negara dalam bertindak dan bersikap.

Sistem Islam akan memberikan pendidikan berbasis akidah Islam bagi seluruh warga negara serta mengondisikannya agar memiliki keimanan yang kuat. Dengan memberikan tujuan yang jelas dalam  pendidikannya yaitu membentuk kepribadian Islam.  Negara akan membekali warga negara dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Dalam metode penyampaian pelajaran dirancang untuk tercapainya kepribadian Islam, sehingga setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tujuan itu dilarang.

Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk mengurusi keperluan warga sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
"Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus". (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Dengan memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat otomatis akan ada kontrol dalam diri setiap individu dengan melakukan setiap aktivitasnya sesuai hukum syariat. Benteng keimanan akan mampu menjauhkan umat dari pengaruh negatif gadget sehingga penggunaan gadget hanya sebatas porsinya yaitu alat komunikasi dan pencari informasi, bukan justru merusak moral.

Wallahu’alam bishawab. []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama