PEMBUANGAN BERAS DAN JANJI KEDAULATAN PANGAN



FATA VIDARI, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)

Pada akhir November 2019 lalu dikabarkan Perum Bulog akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang. Kisaran nilai beras tersebut mencapai Rp 160 miliar. (cnnindonesia.com). 

Pembuangan tersebut dilakukan karena usia penyimpanan beras yang sudah melebihi masanya yaitu 1 tahun. Hal ini menyesuaikan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 tahun 2018 bahwa cadangan beras yang melewati batas penyimpanan harus dimusnahkan karena berpotensi mengalami penurunan mutu. Meski demikian ternyata Bulog juga masih akan menghadapi permasalahan baru yaitu anggaran untuk pengganti beras yang dimusnahkan tidak tersedia. Padahal jumlah ketersediaan beras harus tetap terjaga untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.

Permasalahan yang merugikan negara ini tentunya terjadi bukan tanpa sebab. Banyak pengamat ekonomi menilai ada kebijakan yang salah dalam pengelolaan sehingga stok beras tidak dapat terdistribusi dengan baik. Salah satunya adalah kebijakan impor beras menjelang musim panen yang dilakukan tahun 2018 lalu. Menurut salah satu guru besar IPB hal ini karena pemerintah mengambil kebijakan impor dengan perhitungan yang kurang matang. Selain itu faktor penyaluran ke masyarakat yang buruk dan kinerja Bulog yang menurun.

Di tengah kondisi kemiskinan yang masih menjadi permasalahan di Indonesia, hingga berdampak pada permasalahan turunan seperti gizi buruk dan stunting tentunya pemusnahan beras ini menjadi kebijakan yang sangat memprihatinkan.  Data kemiskinan dari BPS tercatat hingga 2019 sebanyak 53,5 juta jiwa penduduk Indonesia terkategori rentan dengan kemiskinan. Bahkan ADB mencatat bahwa 22 juta orang Indonesia mengalami kelaparan. Tentunya kebijakan perum Bulog ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Seharusnya jika masalah ini ditangani serius oleh pemerintah  tentunya sebelum beras tersebut rusak bisa untuk mengurangi angka 22 juta rakyat yang kekurangan tersebut.

Disisi lain pengelolaan beras yang buruk ini juga tidak sejalan dengan janji pemerintah yang akan menargetkan kedaulatan pangan bagi Indonesia. Hal ini berarti menjadikan Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri untuk rakyatnya tanpa harus impor. Akan tetapi nyatanya sejak awal periode pertama pemerintahan Jokowi Indonesia telah membuka keran impor bagi komoditas pangan. Bahkan di tahun 2018 lalu kebijakan impor benar-benar dipaksakan meski saat petani sedang panen raya. Penguasaan para importir dalam memonopoli kebijakan impor dan keberadaan kartel-kartel pangan yang cenderung dibiarkan disinyalir menjadi penyebab kebijakan impor yang tidak memihak rakyat. 

Upaya pemerintah untuk menargetkan kedaulatan pangan bagi Indonesia selamanya hanya akan menjadi sesuatu yang absurd selama sistem yang menguasai adalah Kapitalisme. Sistem ini menjadikan para pemilik modal dan perusahaan-perusahan besar dengan leluasa memainkan kebijakan di negara ‘jajahannya’ demi kepentingan mereka. Inilah yang disebut neoliberalisme dimana perdagangan bebas sangat dijamin dan menyerahkan semua pada mekanisme pasar. Dalam hal pangan neoliberalisme menghimpit sektor pertanian negara. Mulai dari bibit, pupuk dan pestisida para pemilik modal ini menguasai kebijakan untuk mengatur harga, menindak petani yang melanggar, dan lain-lain. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menguasai pasar sehingga memaksa negara salah satunya melakukan kebijakan impor yang tidak tepat.

Maka sudah saatnya kita membuka wacana bahwa permasalahan pangan di Idonesia termasuk kebijakan atas distribusi beras harus dilihat secara sistemik. Sehingga kita akan bisa mencari solusi lain dengan perubahan revolusioner, bukan tambal sulam. Islam memiliki konsep sistemik berupa konsep serta visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang kelaparan.

Sistem Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib memberantas penimbunan, riba, monopoli pasar, dan penipuan.  Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, Rosulullah SAW telah mencontohkan dalam hal akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah Ibn al-yaman sebagai pencatat hasil produksi pertanian.
Sementara itu kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Praktek ini terus dilakukan hingga pemerintahan berikutnya yaitu Khulafaur Rasyidin dan Khalifah-khalifah setelahnya.

Inilah konsep sistemik dari Islam untuk menyelesaikan masalah pangan. Konsep ini tentunya baru dapat dirasakan kemaslahatannya jika dilakukan oleh institusi negara. Maka sudah saatnya kita meluaskan pandangan agar tidak terus terjebak pada solusi yang diadopsi oleh para kapitalis sehingga janji kedaulatan pangan tidak akan pernah terwujud.



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama