Mengapa Harus Lewat Tol?



Oleh : Fauziyah Ali

Overall, perjalanan kemarin menyisakan rasa 'mbuh' bukan ambyar tapi hambar. Aduh, ini koq lewat tol begini? Pemandangan seragam sepanjang perjalanan. Jalan lurus bebas hambatan. Jalanan tak berliku. Tak ada seninya. Nanti cepat sampai. Paling itu yang ada dalam pikiran.

Ehhmm...zaman berubah. Apa lantas tidak mau berubah? Zaman makin canggih. Ada jalan tol dan E-Toll yang memudahkan koq tak mau berubah? Bukan itu masalahnya. It's okelah jangan pikirkan saya yang akhirnya sulit merangsang ingatan karena jalur yang dilewati berbeda. Tapi soal jalan  tol dibangun untuk siapa dan menggunakan uang siapa? Selalu jadi pertanyaan terus menerus.

Jalanan bebas hambatan begini koq kendaraannya kurang beragam ya? Seharusnya jika ini dibangun untuk rakyat, ya akses penggunaan untuk rakyat harus dibuka luas. Tapi sepertinya pengguna jalan tol hanya sebagian kecil masyarakat aja deh. Misal kendaraan roda dua atau truk pengangkut pasir yang jalannya lambat itu nggak mungkinlah bisa lewat.

Ya, mau gimana namanya jalan tol ya harus bayar. Katanya minta cepat ya bayarlah, koq pelit. Terus kalau kendaraan lambat diperbolehkan lewat nanti jadi ribet, malah membahayakan pengguna jalan yang lain. Ya, harap maklum tak bisa kendaraan roda dua atau kendaraan yang jalannya lambat lewat jalan tol.

Iya, lalu itu jalan dibangun pakai uang siapa? Koq akses rakyat menggunakan jalan yang lebih cepat dibatasi. Bangun jalan tol boleh, yang jika lewat situ perjalanan jadi lebih cepat. Tapi pikirkan agar yang mengakses jalan itu ya masyarakat luas dan tidak perlu bayar apalagi bayarnya mahal. Ambyar...ambyar...

=====

Sekilas saya melihat harga tiket ke Sumatera Utara. Beberapa tahun lalu harga tiket hanya  sekitar 200 ribu sekian sekarang jadi 500 ribu sekian. Memang waktu perjalanan jadi berkurang belasan jam. Cukup signifikan. Tapi kan bayarnya  mahal. So, biaya tol yang mahal itu dimasukkan ke harga tiket penumpangkah? Lalu saya membayangkan truk coutainer yang membawa barang berton-ton beratnya. Yang bayar biaya tol siapa? Tentu, tebakan saya, harga akan dibebankan pada biaya distribusi. It's mean harga barang jadi naik karena biaya beban distribusi ini. Lantas ini berarti apa? Ini berarti harga yang  dibeli konsumen jadi tinggi.

Jujur pada awalnya, kami rombongan memilih naik bis karena kereta tidak ada yang rute ke sana. Rute dihapus. Jika ingin memaksa naik kereta maka harus berganti 3 sampai 4 kali. Bukankah itu sangat menyita waktu? Apalagi rombongan keluarga besar begini dengan puluhan barang bawaan.

====

Memang sih, risiko naik kendaraan umum, penumpang harus ikut regulasi PO. Kalau naik kendaraan pribadi, bisa diatur sendiri. Tapi karena  perjalanan lewat tol jadi 'ngeplat' banget rasanya. Naik bis di agen. Lalu jalan sebentar menuju pintu tol. Masuk tol terus lurus. Cepat sampai sih iya. Tapi sebuah perjalanan kan perlu dinikmati. Seperti misal pas lewat Tegal bisa beli tahu aci khas Tegal dan memakannya ketika masih hangat. Atau berhenti sebentar di satu pojok rest area lalu beli cilok Rp 3.000. Cukup ada seninya to?

Tapi ini yang kami jalani, kami diturunkan di  'rest area' yang juga masih satu lingkaran kepemilikan dengan bis itu. Termasuk supermarket, katering dan toilet yang ada di dalamnya. Kurang lebih, yang kamu temui adalah sesama penumpang merk bis yang sama dan karyawan PO. Gak bisa lah ketemu tukang cilok apa gimana? Semua dikelola dalam satu kepemilikan. Kapitalis mah begini nih. Penguasaan ekonomi biasanya mulai dari hulu sampai hilir.

=====

Lalu tentang kartu E-Toll. Kartu itu adalah satu-satunya alat pembayaran kalau kita melewati jalan tol. Tak seperti di supermarket yang pembayarannya bisa tunai atau kartu debet. Kartu E-Toll adalah sesuatu yang mutlak dimiliki dan jangan lupa saldo harus cukup sesuai dengan rute yang kita lewati.

Tempat pengisian kartu E-Toll jika di sepanjang  jalan tol masih kurang signifikan. Kalau kata saudara saya, mending mengisi kartu E-Toll di luar tol karena kalau di sepanjang jalan tol jarang banget ada tempat pengisian saldo kartu E-Toll. Kalau begini apakah ini dikatakan praktis? Hebat bener ya yang mengelola keuangan jalan tol. Mereka mendapat jaminan, para pengguna jalan tol membawa uang cukup untuk membayar pas lewat. Bahkan saldonya pasti lebih.

Saldo E-Toll berlaku kelipatan misal Rp 50.000 dan Rp 100.000. Misal nih kita butuh Rp 80.000 untuk trayek Kertosono -Surabaya, kita harus punya saldo Rp 100.000. Jadi saldo kan tersisa Rp 20.000. Eh, di supermarket aja walau pakai kartu debet tak pernah meninggalkan uang kembali. Padahal uang 20.000 ini kan bisa buat belanja sayur sop dan beberapa papan tempe. Ini malah 'nyangkut'di kartu E-Toll.

====

And you knowlah sejauh ini, yang mengelola E-Toll hanya bank-bank tertentu. Bank-bank besar saja yang mengelola pembelian kartu dan isi ulang E-Toll. Bank-bank yang tidak seberapa besar biasanya menginduk pada bank-bank besar yang telah ditunjuk. Pada awalnya toko waralaba juga melayani pembelian kartu E-Toll tapi kemudian pengadaan dihentikan. Kita harus membelinya di bank. Ada apa ya koq begini.

Suatu waktu saya pernah dapat informasi yang terpercaya dari seorang teman kalau pembayaran biaya melewati jalan tol menggunakan E-Toll adalah agar uang kita langsung masuk ke rekening China. Uang tidak akan bisa singgah kemana-mana. Mungkin itu yang menjadikan alasan pengelola E-Toll adalah bank-bank besar dan toko waralaba yang besar.

Nah, terbukti kan ini juga soal koorporasi dan lingkaran kapitalis yang menjerat. Lingkaran yang menjadikan rakyat sebagai konsumen yang harus membayar mahal atas kemudahan fasilitas yang disediakan negara. Tidak pernah ada niat untuk menyejahterakan rakyat tapi semata-mata para kapitalis ini menggunakan tangan-tangan negara untuk menggeruk rupiah dari rakyat.

Wallahu alam Bisshowab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama