(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Diskriminasi Pemerintah China terhadap Etnis Muslim Uighur di Xinjiang kini tengah menjadi sorotan dunia internasional. Negeri Tirai Bambu ini bahkan melakukan penahanan pada satu juta lebih muslim Uighur di sebuah Camp yang disebut dengan Camp Re-education.
Penindasan terhadap Uighur memang bukanlah cerita baru. Hasil kajian dari Global Voice menyatakan bahwa kecurigaan Beijing terhadap Muslim Uighur telah berlangsung sejak dua abad lalu saat Perang Dunia II. Hal tersebut kemudian terus bergulir hingga kemudian pada abad ke-20 Etnis Uighur telah mendeklarasikan kemerdekaannya dengan nama Turkistan Timur. Namun pada tahun 1949, hal tersebut dihalangi oleh Presiden RRC kala itu, Mao Zedong dengan cara menyeret etnis Han untuk berpindah secara massal ke Xinjiang.(www.fokus,etrosulbar.com)
Hingga setelahnya kerusuhan antara etnis Han dan Uighur kerap terjadi. Bahkan pasca tragedi 9/11 Pemerintah China ikut menggencarkan aksi dengan menahan kelompok “ekstrimis” dengan alasan mendukung opini War on Terrorism yang digaungkan oleh Amerika hingga puncaknya terjadi pada tahun 2009 ketika ada kerusuhan etnis antara etnis Uighur dan Han di seluruh wilayah Xinjiang. Sejak saat itu, pemerintah diam-diam meningkatkan pembatasan pada gerakan dan budaya Uighur dan minoritas muslim lainnya hingga sekarang.
(www.matamatapolitik.com, 26/11/2019)
Melihat berbagai pemberitaan tentang penindasan muslim Uighur, pihak otoritas China justru melakukan klarifikasi dalam sebuah forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss yang menyatakan bahwa isu penahanan tersebut adalah program re-edukasi bagi sebagian besar etnis muslim Uighur yang terindikasi dengan konsep pemikiran ekstrimisme.
Terlepas dari adanya kaitan upaya menangkal kelompok ekstrimis, tentu hal tersebut jelas merupakan tindakan kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Namun melihat adanya penindasan tersebut para penguasa dunia terutama negara-negara mayoritas muslim justru lebih banyak diam. Dilansir dari detiknews.com, Pada bulan juli lalu, sebuah voting yang dilakukan oleh Dewan HAM PBB menyatakan bahwa ada 22 negara yang meminta China agar mengakhiri sikap tidak manusiawi terhadap muslim Uighur. Sisanya sekitar 37 negara yang diantaranya adalah negara-negara Timur tengah justru mendukung China dengan alasan melawan kelompok separatis dan kelompok teroris.
Jika dilihat, sikap dukungan tersebut ternyata muncul karena adanya sekat antarnegara yang menyebabkan penguasan di negeri lain tidak perlu ikut campur pada urusan dalam negeri negara lain. Sikap China terhadap muslim Uighur dipandang sebagai masalah pribadi negara China sehingga yang bisa dilakukan oleh negara lain hanyalah memberikan dukungan untuk memberantas kelompok radikal. Inilah racun nasionalisme. Padahal dalam islam, Rasulullah menyebutkan bahwa setiap muslim adalah saudara.
Di sisi lain hal tersebut juga akan merugikan pihak negara yang melakukan kerjasama ekonomi dengan China. Timur Tengah misalnya, nilai investasi China di Timur Tengah setiap tahun terus bertambah. Oleh karenanya, bahasa mandarin kini mulai diajarkan di Arab Saudi. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan negara Timur Tengah memberikan imbalan setimpal dengan mendukung China menyikapi kasus Uighur. Berbeda halnya dengan Indonesia, negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini justru sangat berhati-hati dalam memberikan sikap. Kedekatan Indonesia dengan China dianggap menjadi salah satu ganjalan sehingga Indonesia tak cukup vokal mengecam.
Inilah potret penguasa kita hari ini. Seharusnya mereka terdepan dan bertindak tegas dalam melawan kedzakiman terhadap segala bentuk penindasan justru realitasnya karena tersekat oleh nasionalisme dan kerjasama yang lebih ditakuti akan merugikan negara. Hal tersebut muncul dari cara berpikir ideologi kapitalisme sekuler.
Kita tidak memungkiri adanya dukungan dari personal individu seperti yang dilakukan oleh Mesut Ozil lewat cuitannya ataupun organisasi massa serta komunitas lainnya yang mengecam segala bentuk penindasan China terhadap muslim Uighur. Jelas hal itu memberikan pengaruh bagi muslim Uighur. Namun tak cukup dengan hal tersebut, sebab wewenang kuat untuk menghapus dan mengakhiri duka Uighur hanya bias dilakukan oleh negara yang punya kekuasaan. Tentunya bukan negara yang tersekat oleh nasionalisme. Dialah negara Khilafah Islamiyyah yang kelak pula menyatukan negeri-negeri muslim dan menghapuskan segala bentuk penindasan. Wallahu’alam. []