Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice
Kerusuhan pecah di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Peristiwa tersebut terjadi Senin (23/9/2019) sejak pukul 09.00 WIT. Sejumlah bangunan seperti rumah dinas, ruko, dan kantor bupati dibakar massa.
Kendaraan dan gedung hancur, puluhan orang luka-luka, sekitar 5.000 warga terpaksa diungsikan ke tempat yang lebih aman. Sebanyak 31 orang meninggal dunia dan sebagian besar korban merupakan warga pendatang yang tinggal di wilayah tersebut.
Diduga kerusuhan ini terjadi karena info hoax tentang rasisme yang tersebar di masyarakat. Menurut Komnas HAM, kejadian bermula saat guru pengganti bernama Riris Panggabean meminta salah satu muridnya membaca dengan keras kata "kera". Keesokan harinya berita yang tersebar adalah guru tersebut memanggil muridnya dengan kata "kera". Inilah yang memicu kerusuhan berkepanjangan.
Presiden terpilih Joko Widodo menyatakan bahwa penyebab kerusuhan tersebut bukan karena etnis, melainkan karena kelompok kriminal bersenjata, "Saya menyampaikan dukacita yang mendalam atas meninggalnya 33 orang warga dalam peristiwa kekerasan di Wamena. Kejadian ini bukanlah konflik bernuansa etnis. Ini penyerangan oleh kelompok kriminal bersenjata ke warga di permukiman, seraya melakukan pembakaran rumah penduduk."(30/9/2019)
Hal tersebut sedikit berbeda dengan pernyataan yang disampaikan Natalius Pigai dalam tulisan bertajuk "Mengapa Orang Papua Marah Pendatang?". Dalam tulisan Pigai, penulis menyimpulkan rasisme dan ketidakadilan memicu konflik di Papua.
Jika rasisme dan ketidakadilan adalah sebab terjadinya kerusuhan, maka hal ini patut disayangkan. Peristiwa di Wamena tersebut telah mengkonfirmasi bahwa slogan Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua, belum sepenuhnya bisa terwujud dalam national state seperti sekarang.
Apabila dicermati lebih dalam, ikatan kebangsaan (nasionalisme) yang digadang-gadang mampu menyatukan berbagai ras, suku, dan agama ternyata hanya bersifat temporal. Ikatan ini akan muncul atau nampak kuat menyatukan jika ada pihak asing yang menyerang atau berusaha menaklukkan negeri.
Tetapi jika suasana telah reda, ikatan ini akan sirna. Manusia akan berjalan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Bahkan bisa jadi yang muncul adalah ikatan yang lebih rendah lagi yaitu ikatan kedaerahan, suku atau ras yang akhirnya mengancam keberagaman (pluralitas).
Lantas adakah ikatan yang dapat mengikat antara manusia yang kuat, yang tidak temporal alias hakiki? Maka jawabannya apalagi kalau bukan ikatan yang dibangun atas dasar ideologi.
Berbicara tentang ideologi, ada tiga jenis ideologi di dunia. Pertama, kapitalisme yaitu ideologi yang rusak yang berlandaskan sekulerisme.
Kapitalisme mengakui adanya agama, hanya saja agama ditempatkan dalam ranah ritual. Ranah lain mereka mendewakan nafsunya untuk mengatur segala aspek kehidupan. Jelas, walaupun ideologi ini bisa mengikat manusia, tetapi ideologi ini rusak.
Kedua, ideologi sosialisme komunis. Materialisme menjadi cikal bakal dari lahirnya ideologi ini. Jelas ideologi rusak dan karena ideologi ini menihilkan agama secara total. Agama dianggap sebagai candu. Sekalipun ideologi ini mampu menjadi penyatu ikatan manusia, tapi ideologi ini bertolakbelakang dengan fitroh manusia.
Ketiga, ideologi Islam. Islam adalah agama yang mampu mengatur segala aspek kehidupan. Terbukti melalui Quran dan sunnah, Nabi Muhammah Saw wariskan segala tata cara hidup manusia dari mengatur dirinya sendiri sampai bernegara. Ikatan ideologi Islam dibangun berdasarkan aqidah Islamiyah.
Ketika seseorang telah masuk Islam, dari golongan dan suku manapun, Islam ajarkan bahwa mereka adalah saudara kita. Selain itu dalam Islam haram mencela atau memaki manusia yang berkaitan dengan fisik. Selain itu, Islam mengharamkan ashobiyah(red:fanatisme golongan) seperti hadist di bawah ini.
"Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah lalu mati, dia mati dengan kematian jahiliyah. Dan siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok maka dia bukan bagian dari umatku. Dan siapa saja yang keluar dari umatku memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya dan tidak takut akibat perbuatannya terhadap orang mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya maka dia bukanlah bagian dari golonganku-” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai).
Yang membedakan kedudukan manusia di hadapan Allah SWT, bukanlah fisiknya tapi kuatnya aqidah dan ketaqwaanya. Oleh karenanya, Islam melarang keras rasisme dan segala bentuk ketidakadilan pada umat manusia. Sungguh dapatlah dipetik nasihat dari terjemah Quran di bawah ini.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."(TQS. Al Hujurat: 13)
Dari paparan di atas semakin menguatkan bahwa hanya Islam yang mampu menyatukan umat manusia dan menciptakan keadilan serta kesejahteraan baik Muslim maupun non Muslim. Tunggu apalagi, mari kembali para aturan Illahi. []