Buzzer Dan Demokrasi; Bagaikan Madu Dan Racun



Retno Kurniawati
(Analis Muslimah Voice )


Bisakah umat berharap pada pemimpin hasil kerja para buzzer politik?. Kondisi tersebut yang sedang ramai dibicarakan di kalangan yang melek dunia sosial. Buzzer di tengarai sebagai mesin pencetak kebohongan untuk mendongkrak elektabilitas pemimpin. Inilah yang terjadi pada sistem demokrasi. Bahkan kepada rakyatnya pun rela berbohong demi memuluskan hasrat politiknya.

Tugas buzzer sangat berperan penting dalam menyebarkan isu, ide dan gagasan sehingga menancap kuat pada penikmat media sosial. Bahkan kecanduan, entah berita itu benar atau salah telah dapat menancap pada masing-masih otak yang terpengaruh.

Memang kecepatan berita lewat medsos bagaikan dua sisi yang dilematis. Disatu sisi dapat memberikan info yang up to date dan di sisi yang lain dapat mempengaruhi hal buruk sehingga buta rasa dan buta hati.

Buzzer piaraan rezim, akun-akun penyebar fitnah dan adu domba ternyata setelah di teliti ada pada kubu pendulung rezim. Fakta.net menuliskan tentang hasil penelitian Oxford: pemerintah Indonesia biayai buzzer untuk manipulasi publik. ( 4 oktober 2019 ). Hal senada juga di ulas pada zonasatunews.com, cnnindonesia.com dan jawapos.com ulasannya kurang lebih sama, yaitu buzzer itu di biayai untuk memecah belah publik.

Jika seperti ini, otomatis buzzer dipelihara dan di rawat oleh negara. Lagi-lagi tidak lain dan tidak bukan karena buzzer ini bermanfaat bagi rezim yang menggunakan jasanya. Pembohongan publik terus di lakukan dan pembuat pembohongan publik yang sempurna ada pada buzzer yang di bawah kendali pemerintah.

Sistem pemilihan pemimpin menggunakan demokrasi yang tegak di atas fondasi kebohongan produksi para buzzer bayaran tentu saja berbiaya mahal, sayangnya justru rentan terhadap kebohongan dan kecurangan. Menghalalkan cara sudah menjadi hal wajar dan lazim. Dan sayangnya kwalitas pemimpin yang di dapatkan jauh dari harapan umat. Pemimpin yang lahir dari cara kebohongan lazimnya akan melahirkan berbagai kebohongan pula.

Pemimpin dalam demokrasi bagaikan madu dan racun. Bukan madu di tangan kanan atau madu di tangan kiri, namun racun yang berbalut madu. Di luar nampak manis menggiurkan ternyata dalamnya beracun nan mematikan. Buzzer ibarat madu namun sayang sekali telah terkena racun demokrasi. Buzzer, jika di gunakan oleh perusahan-perusahaan besar untuk aktifitas pengenalan produk dan promosi maka akan menghasilkan profit yang luar biasa.

Namun jika yang memanfaatkan jasa buzzer adalah rezim yang demi tahta makan lagi-lagi rakyat yang di rugikan.

Berbeda jauh dengan kwalitas pemimpin berdasarkan cara-cara islam. Pemimpin Islam dipilih karena memenuhi syarat iniqad, bukan karena iklan atau peran buzzer. Islam sebagai sebuah konsep hidup berpandangan bahwa manusia diciptakan Alloh mempunyai satu tujuan yaitu beribadah padaNya dalam segala aspek kehidupan.

Pandangan mendasar inilah yang mengikat manusia untuk selalu terikat pada SyariatNya sebagai konsekuensi keimanan padaNya, termasuk dalam hal memilih seorang Pemimpin negara. Pemilihan pemimpin dalam Islam melibatkan rakyat tetapi bukan untuk menjalankan kehendak rakyat tetapi dipilih untuk menerapkan hukum Syara’. Dan dengan cara yang makruf bukan dengan cara yang munkar, salah satunya menggunakan buzzer.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama