Jangan Jakarta kan Kalimantan!




Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice

Kabar mengejutkan datang perihal pindahnya ibukota. Presiden Joko Widodo, akhirnya menjawab polemik wilayah yang dijadikan Ibu Kota Baru. Jokowi menyebut ibu kota berada di antara Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dalam jumpa pers yang berlangsung di Istana Negera, Senin, 26 Agustus 2019, Jokowi didampingi Gubernur Kaltim, Isran Noor, serta sejumlah menteri. (viva.co.id 27/8/2019)

Pindah ibukota yang diberitakan secara masif dengan alibi menyelamatkan ibukota dari banjir, macet, bencana dan lain-lain sempat menghantui publik. Pindah ibukota memang sebuah keniscayaan dan seyogyanya dipertimbangkan dengan matang dan tidak terburu-buru. Ada hal yang krusial dan wajib dipertimbangkan yaitu masalah pembiayaan. Sri Mulyani Menkeu mengatakan,"Kita sedang bahas dengan DPR, nanti ya," Kantor Kementerian Keuangan, Senin (26/8/2019). Anggaran yang dibutuhkan untuk pindah ibu kota negara adalah Rp 466 triliun, di mana yang bersumber dari anggaran negara alias APBN adalah 19%.(detik.com 26/8/2019)

Jika 19% dana diambil dari APBN, otomatis 81% dana senilai 377,47 T dicari dari mana? Apabila untuk menutup dana tersebut dengan hutang ribawi pada asing, jelas ancaman neoimperialisme dan neokolonialisme semakin kuat. Apalagi jika diiming-imingi dengan skema turn key(bangun dulu baru bayar). Jika tak mampu bayar lalu ibukota disandra oleh kapitalis asing pemberi hutang bagaimana? Bahkan prof. Said Didu mantan Sekretaris Kementrian BUMN mengatakan,"Saya yakin, atas perintah Partai seluruh anggota DPR akan setuju pembangunan Ibu Kota baru dg biaya swasta krn yg akan menikmati proyek dan tukar guling asset negara adalah para konglomerat "donatur" parpol. Mereka bagaikan boneka di depan para cukong kekuasaan" via akun Twitter @msaid_didu 27/8. Sungguh ini alarm bahaya jika pembiayaan pindah ibukota dengan dana hutang berbunga dari kapitalis asing.

Perlu dipahami akar masalah yang dihadapi ibukota Jakarta, seperti macet, banjir, polusi udara dan lain-lain adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini menciptakan keruwetan berlapis hingga tak ada solusi lain kecuali mencampakkan sistem ini dan menggantinya dengan aturan yang bersumber dari Tuhan Semesta Alam Allah Azzawajalla. Salah kaprah jika masalah Jakarta solusinya dengan pindah ibukota.

Lihat saja masalah banjir. Konsep pembangunan dalam kapitalisme dengan prinsip 'modal sekecil-kecilnya dan keuntungan sebesar-besarnya', telah membuat para kapitalis tidak mematuhi AMDAL dan tata kota yang apik. Contoh selanjutnya masalah kemacetan. Kemacetan ini akibat transportasi umum yang buruk, tidak ada pembatasan kepemilikan kendaraan baik motor maupun mobil, dan tidak ada aturan kelola 'rycicle' kendaraan yang sudah tua. Ini mengakibatkan menumpuknya jumlah kendaraan bermotor dan mampu mengkibatkan polusi udara. Sekaligus limbah pabrik juga menambah catatan hitam buruknya udara di ibukota.

Hal tersebut semakin membenarkan bahwa Kapitalisme Sekuler Liberal yang telah membuat amburadulnya kelola ibukota. Kapitalisme pula yang akan membuat Kalimantan sama buruknya dengan Jakarta jika sistem busuk ini tidak segera dicampakkan.

Oleh sebab itu, banyaknya bencana yang menimpa negeri ini sebenarnya karena manusia sombong tak mau menerapkan syariat Islam yang agung. Mereka malah sok pintar dengan bikin aturan sendiri, walhasil kerusakan demi kerusakan menyulam renda-renda penderitaan. Marilah merendahkan hati, tunduk, dan patuh menjalankan perintah Nya dengan menerapkan Syariat Islam secara sempurna, pastilah keberkahan dan kesejahteraan akan terwujud.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama