Oleh: Ummu Abyan
(Pengamat kebijakan publik)
Tinggal di Kediri, Jawa Timur)
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha [UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan, Bab 1, Pasal 1 ayat 4].
Kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan mempererat persahabatan antar bangsa [pasal 4, UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan]
Masih menurut UU No. 10/2009, kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip :
1. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manuasia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan anatara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan
2. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya budaya, dan kearifan local
3. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas
4. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup
5. Memberdayakan masyarakat setempat.
6. Menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemi8k dalam rangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan
7. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internacional dalam bidang pariwisata
8. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menurut Dadang Rizki Ratman, SH.
Menurut Dadang Rizki Ratman, SH. MPH dalam pada rapat koordinasi nasional Kementrian Pariwisata tentang Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019, menyampaikan dalam makalahnya, bahwa pariwisata adalah kunci pembangunan, kesejahteraan dan kebahagiaan, dan pariwisata merupakan sektor unggulan dikarenakan:
Meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata, menjadikan pariwisata sebagai faktor kunci dalam pendapatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan infrastruktur
Pariwisata telah mengalami ekspansi dan deversifikasiberkelanjutan, dan menjadi salah satu sector ekonomi yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya di dunia
Meskipun krisis global terjadi beberapa kali, jumlah perjalanan internasional tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif, yaitu 25 juta orang (1950), 278 juta orang (1980), 528 juta orang (1995), dan 1,1 milyar orang (2014).
Sumber: UNWTO Tourism Hihlights, 2014, UNWTO Tourism Barometer, Jan 2015, dan WTTC jan 2015
MOTIF EKONOMI DIBALIK KEK DAN UGG
Banyak negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Adapun realisasi proyek pariwisata melalui :
Kawasan Ekonomi Khusus [KEK] PARIWISATA
Menurut Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang ditulis Jurnalis Koran SINDO · Selasa 08 Agustus 2017 KEK merupakan salah satu solusi agar lebih mempermudah masuknya investasi pariwisata karena adanya insentif fiskal dan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Selain itu, pemerintah pusat akan membantu percepatan pembangunan infrastruktur dan utilitas dasar di daerah yang berstatus KEK. Hingga 2019, pemerintah menargetkan pembentukan 10 KEK Pariwisata. Sebagai catatan saat ini baru terdapat empat KEK Pariwisata, yaitu Tanjung Lesung (Banten), Morotai (Maluku Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Tanjung Kelayang (Bangka Belitung).
KEK butuh waktu, untuk itu badan otorita dulu [guna mempercepat realisasi kawasan ekonomi khusus]. Transformasi badan otorita [ke KEK butuh waktu] 2—3 tahun. Menpar punya program membuat 100 KEK pariwisata dan dimulai dengan membuat 10 Bali baru,” ujarnya. (Deandra Syarizka). Sumber : Bisnis Indonesia (20/2/2018
UNESCO Global Geopark [UGG]
Ditulis dalam detik Travel, Selasa, 17 Apr 2018 bahwa Branding pariwisata Indonesia makin berkibar di dunia. Sebabnya, kini sudah ada 4 geopark yang diakui oleh UNESCO! Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya. Menurutnya, branding geopark atau wisata alam Indonesia akan makin dikenal di dunia setelah diakui oleh UNESCO."Kini kita punya 4 UNESCO Global Geopark. Batur, Gunung Sewu, Ciletuh dan Rinjani dengan status UNESCO Global Geopark (UGG) itu akan memperkuat branding destinasi atau produknya," kata Arief kepada detikTravel, Selasa (17/4/2018).
Jika diurutkan, pertama kali yang menyandang UNESCO Global Geopark adalah Gunung Batur di Bali pada sekitar tahun 2012. Kemudian disusul Gunung Sewu di DI Yogyakarta pada tahun 2015, yang terbaru adalah Ciletuh di Sukabumi dan Rinjani di Lombok yang ditetapkan pekan lalu di sidang Executive Board Unesco ke-204 di Prancis.
Indonesia sangat menyadari pentingnya sektor pariwisata untuk menggenjot gerak perekonomian nasional, dan terutama ekonomi di wilayah destinasi pariwisata. Untuk itu, sejumlah langkah strategis tengah dan akan dilakukan untuk memajukan pariwisata, baik perbaikan infrastruktur maupun akses dan sumber daya manusia di bidang pariwisata.
Bersamaan dengan itu, target kedatangan wisatawan mancanegara juga dinaikkan menjadi 20 juta pada 2020. Terkait dengan target ini, Indonesia pun aktif mengikuti berbagai pameran pariwisata tingkat dunia, terakhir di Madrid, Spanyol, Indonesia membuka Paviliun yang cukup besar di Fitur, ajang pameran pariwisata dunia.
Dubes RI di Spanyol, Yuli Mumpuni Widarso, yang merangkap sebagai Wakil Tetap RI (Watapri) pada Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UN World Tourism Organisation / UNWTO), menghadiri UNWTO Annual Asia–Pacific Ambassadors’ Meeting di Markas Besar UNWTO di Madrid. Pertemuan dipimpin oleh Sekjen UNWTO, Taleb Rifai, dengan didampingi para Direktur Eksekutif dan Direktur Program Regional Asia Pasifik, serta para Manajer Program yang menangani implementasi agenda UNWTO 2017 International Year of Sustainable Tourism for Development (2017 Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan untuk Pembangunan).
Sekjen UNWTO, Taleb Rifai, menyampaikan bahwa sebagaimana pada 2015, perkembangan pariwisata pada 2016 juga tetap menjadi kunci penggerak perbaikan ekonomi global dan salah satu penyumbang penting dalam penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, perlindungan lingkungan, dan pembentukan budaya damai dan saling pengertian antarbangsa di dunia. Hal tersebut terlihat pada kontribusi pariwisata yang pada 2016 tercatat menyumbang 10 persen GDP dunia; 1 dari 11 lapangan kerja baru merupakan sektor pariwisata; nilai ekspor produk terkait industri pariwisata mencapai 15 triliun dolar AS.
Nilai tersebut menjadikan share pariwisata pada ekspor barang mencapai 7 persen, dan jasa 30 persen. Angka turis internasional pada 2016 totalnya mencapai 1,235 miliar, meningkat 46 juta (+4 persen) dibandingkan 2015 yang tercatat 1,189 miliar. Peningkatan arus turis internasional tersebut, tertinggi mengalir ke kawasan Asia Pasifik (8,4 persen, atau 303 juta turis, naik 24 juta) dan Afrika (8,1 persen), yang lebih tinggi dari pada peningkatan rata-rata dunia (4 persen), maupun jika dibandingkan dengan peningkatan di kawasan lain, seperti di Eropa (2 persen) dan Amerika Serikat (4,3 persen), serta Timur Tengah (4,1 persen).(Koran Jakarta, Selasa 28/2/2017)
Dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Vol.3 No.1, April 2017 yang berjudul KAPITALISME PEDESAAN DI KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) TANJUNG LESUNG KABUPATEN PANDEGLANG PROPINSI BANTEN, Dede Sri Kartini, Rahman Mulyawan, Neneng Yani Yuningsih, Departemen Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran dalam abstraknya menuliskan bahwa Kebijakan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan berbagai kepentingan rakyat akan menumbuhkan kapitalisme di suatu kawasan. Dengan mengambil lokasi penelitian di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang, propinsi Banten, peneliti melihat kawasan pedesaan dirubah menjadi tempat investasi bagi siapapun yang memiliki uang, pemilik modal menjadi pengendali arah perkembangan satu kawasan. Inilah inti kapitalisme, pemerintah hanya bisa membuat regulasi tanpa bisa mengintervensi arah perkembangan pedesaan. Ironisnya, kapitalisme ini justru dipayungi oleh kebijakan publik. DesaTanjung Jaya yang merupakan wilayah pedesaan berubah menjadi kawasan eksklusif dengan dibangunnya vila, resort, wisata pantai, sejak ditetapkannya wilayah ini menjadi Kawasan Ekonomi Khusus pariwisata.
Pratma Julia, dalam tulisannya “ Pariwisata : Komoditas Andalan Rezim Neolib”, mengatakan bahwa Prinsip neolib yang kini menjadi pilihan penguasa semakin menjadikan mereka bernafsu menggarap sektor-sektor primadona demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam waktu tiga tahun. Pariwisata pun menjadi salah satu sektor primadona, dengan mengandalkan keindahan alam (nature), kebudayaan (culture) dan kerajinan tangan (man made). Betapa tidak, sektor pariwisata menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013, yakni menyumbang Rp 347 triliun PDB (Produk Domestik Bruto). Angka itu mencapai 23 persen dari dengan total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013. Untuk itu koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara telah diposisikan sebagai pintu gerbang pariwisata dalam proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Menteri Pariwisata Arief Yahya, pada acara Jumpa Pers Akhir Tahun 2014 menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan pada tahun 2015 dan berharap jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2019. Penargetan itu sejalan dengan program ekonomi liberal Jokowi-JK lainnya seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi serta regulasi. Dalam regulasi, mulai tahun 2015 pemerintah melakukan terobosan dengan memberikan bebas visa kunjungan bagi turis 5 negara seperti Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia. Target pemasukan jasa turisme memang luar biasa. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menghitung, jika pemasukan wisatawan mancanegara (wisman) dengan penghitungan satu wisman akan menghabiskan 1200 dolar, maka akan didapat minimal 540 juta dolar per tahun.
KONTRIBUSI INDONESIA
Dubes Yuli Mumpuni menyampaikan bahwa kontribusi Indonesia pada 2016 cukup signifikan, tercatat 12,023 juta turis internasional berkunjung ke Indonesia, atau naik 15,54 persen dibandingkan 2015. Sekjen UNWTO dan para Direktur Eksekutif UNWTO mengapresiasi perkembangan pariwisata Indonesia tersebut, dan mengingat Indonesia sejak 2016 telah melaksanakan kebijakan fasilitas bebas visa kunjungan turisme bagi warga negara dari 169 negara, maka salah satu kajian UNWTO pada 2017 akan mengambil topik “Impact of Visa Facilitation and Tourism Growth in Indonesia”. Untuk itu, UNWTO akan bekerja sama dengan Indonesia menyelenggarakan seminar tentang hal tersebut.
Khusus menyangkut agenda UNWTO 2017 International Year of Sustainable Tourism for Development yang dideklarasikan oleh Sekjen UNWTO bersama Raja Spanyol, Felipe VI, di Madrid pada 17 Januari 2017, yang meliputi (1) peningkatan kesadaran dan advokasi; (2) penciptaan pengetahuan dan diseminasi; (3) pembuatan kebijakan; dan (4) peningkatan kapasitas dan pendidikan, dalam pertemuan tersebut Direktur Program Regional Asia Pasifik menyampaikan bahwa sebagai apresiasi UNWTO terhadap komitmen Pemerintah Indonesia yang terus memajukan pariwisata berkelanjutan maka pada 2017 UNWTO akan membangun dua STOs (Sustainable Tourism Observatory), masing-masing di Medan dan Bali, menambahkan tiga STOs yang telah dibangun pada 2016 di Pangandaran, Sleman dan Lombok.
UNWTO juga mendukung rencana Indonesia untuk menyelenggarakan Capacity Building Training and Workshop bagi para Kepala Dinas Pariwisata (regional managers) agar pengembangan destinasi di seluruh Indonesia sesuai dengan ke-4 butir agenda dimaksud. Lebih jauh, UNWTO juga mendukung penyelenggaraan Konperensi Pariwisata Berkelanjutan Untuk Pembangunan pada Oktober 2017, untuk diseminasi ke-4 butir agenda tersebut kepada para pemangku kepentingan di Indonesia.
Sebagai salah satu negara anggota UNWTO yang mendukung usulan tentang tahun 2017 sebagai International Year of Sustainable Tourism for Development yang disampaikan kepada PBB dalam UNWTO Expert Meeting di New York, 29–30 Oktober 2013, Indonesia akan melaksanakan dan mendukung keberhasilan pelaksanaan ke-4 butir agendanya.
KBRI Madrid selaku Wakil Tetap RI pada UNWTO mengapresiasi UNWTO yang secara reguler menyelenggarakan Pertemuan Tahunan UNWTO dengan para Duta Besar Kawasan Asia Pasifik. KBRI Madrid menilai penting pertemuan tersebut karena merupakan forum untuk saling bertukar pandangan dan pengalaman dalam meningkatkan industri pariwisata internasional, regional dan nasional. (Koran Jakarta, Selasa 28/2/2017)
Sejumlah kebijakan di bidang pariwisata yang digulirkan pemerintah demi mendongkrak kegiatan ekonomi di bidang ini dianggap mulai membuahkan hasil. Buktinya, sejumlah kebijakan sektor pariwisata mampu mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.
Beberapa kebijakan pariwisata yang digulirkan pemerintah antara lain kebijakan kemudahan sandar bagi kapal pesiar (yacht) asing lewat penerbitan Peraturan Presiden No 180/2014 tentang Kunjungan Kapal Wisata Asing ke Wilayah Indonesia akhir 2014. Berdasarkan data yachter-indonesia.in dan Nongsa Point Marina, kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah kunjungan yacht ke Indonesia. Pada 2015 jumlah kunjungan yacht hanya 1.531 kapal, pada 2016 naik 28,67% menjadi 1.970 kapal. Tahun ini, jumlah kunjungan yacht ke Indonesia diperkirakan naik menjadi 2.850 kapal.
Sementara itu, kebijakan perluasan negara penerima fasilitas bebas visa dari 15 negara menjadi 169 negara juga turut mendongkrak kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2016 jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia sebanyak 11,52 juta orang, naik 10,69% dari tahun 2015 yang sebanyak 10,41 juta orang. Sepanjang Januari-Agustus 2017 jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia mencapai 9,25 juta orang, naik 25,68% dari periode yang sama tahun lalu.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, deregulasi yang dilakukan pemerintah di bidang pariwisata cukup efektif mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara. "Kenaikan luar biasa, Desember 2014 buat aturan untuk mempermudah, langsung dampaknya bisa terasa," katanya pekan lalu. Melihat situasi tersebut, Agus optimistis target peningkatan kunjungan sebanyak 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun depan bisa tercapai. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo bilang, untuk mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara, pemerintah terus memperbaiki regulasi dan produk pariwisata di Indonesia. "Produk pariwisata harus terus diperbaiki, kalau tidak, orang yang sudah datang akan malas untuk kembali," ujarnya. (KONTAN.CO.ID Senin, 23 Oktober 2017 )
PARIWISATA SEBAGAI SARANA LIBERALISME
Sebagai varian sistem ekonomi kapitalistik, penerapan rezim neolib tidak mungkin dipisahkan dari inti paradigmanya, yakni menjadikan liberalisme (kebebasan) sbg konstruksi mendasar. Karena itu kebebasan ekonomi neolib akan selaras dengan kebebasan politik (demokrasi), kebebasan berperilaku (liberalisasi) serta kebebasan beragama (sekularisasi).
Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia. Saat ini tataran diplomasi hubungan antar Negara amat mengandalkan mekanisme people to people contact selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya. Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antar negaranya dengan ASEAN, tentu saja termasuk Indonesia.
Sekalipun hubungan Indonesia dan Australia terkesan mengalami pasang surut, namun Indonesia jelas memiliki tempat istimewa bagi Australia. Demikian juga negara-negara kapitalistik lain yang segera mengerubungi Jokowi untuk merebut kesempatan berjaya di Indonesia, baik dari sisi menjarah kekayaan maupun penanaman nilai sekular kapitalistik. Namun mereka masih mendapatkan tantangan, mengingat keberadaan muslim adalah mayoritas di Indonesia. Penyerahan kedaulatan pada asing dan proses penjarahan sumber daya alam tak akan mungkin terealisir dengan sempurna jika persepsi mendasar masyarakat, apalagi muslim, belum sepenuhnya liberal. Untuk itu perlu usaha masif untuk mengaruskan dan menancapkan paham-paham liberal di Indonesia. Pariwisata menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.
PARIWISATA INDONESIA, UNTUK SIAPA?
Hari Pariwisata diperingati secara global pada 27 September. Para ahli, pejabat, dan promotor pariwisata pasti menyebut capaian-capaian positif sektor pariwisata, mulai dari devisa, serapan tenaga kerja, hingga perbaikan infrastruktur yang fantastis. Paling tidak bukti statistik sudah menegaskan pertumbuhan pariwisata terus naik, baik di tataran internasional maupun nasional.
Ada baiknya sedikit membuka ruang perenungan. Ketika ukuran kuantitatif mampu menebar optimism. Pada saat yang sama ukuran kualitatif condong kehilangan makna. Pengamat terpana angka sekaligus lupa pada dampak dan untuk siapa sebenarnya pariwisata.
Bukan maksud untuk menyangkal capaian positif pariwisata. Toh pertanyaan masih tersisa banyak. Siapa yang menikmati surplus ekonomi sektor pariwisata yang menggelembung itu? Apakah timbunan devisa sukses menggusur kemiskinan? Semakin merata atau timpangkah pendapatan masyarakat? Serta seberapa besar dampaknya terhadap Indonesia?
Format Indonesia demikian selaras dengan pembentukan ASEAN Community (Masyarakat ASEAN) pada tahun 2015. Masyarakat ASEAN terdiri dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Masyarakat Politik-Hankam ASEAN (MPA) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (MSA). Dalam pembentukan Masyarakat Sosial- Budaya ASEAN, budaya yang dimaksud jelas bukanlah budaya Melayu yang masih terpengaruh dengan ajaran Islam. Namun tatanan universal sistem sosial ala Barat yang menjadikan HAM, sekularisme, pluralisme dan liberalisme sebagai anutan mainstream masyarakat. Bahkan secara sarkastis, paham-paham tersebut telah beralih menjadi tuhan baru.
Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai. Sekalipun Rusia, China, Jepang dan Korea asalnya bukan bangsa Barat, namun sistem nilai dan çara hidup mereka sudah mengalami westernisasi dan kapitalisasi. Jadi tidak ada bedanya, antara bangsa Timur itu dengan Barat : Australia, Eropa atau Amerika. Bahkan budaya pop Korea yang berkembang menjadi Gelombang Korea (Hallyu) sejak tahun 1990-an sama sekali tidak menampakkan budaya asli mereka, namun lebih lekat dengan life style selebritas Hollywood.
Realitas berbicara, tanpa serbuan turis asing saja, bangsa ini -terutama generasi mudanya- sudah terseret arus liberal. Tengok saja Bali, sebagai destinasi wisata utama telah menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS dengan angka yang cukup fantastis. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan sejumlah aktifis penanggulangan AIDS nasional baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 26.000 orang. Padahal secara keseluruhan jumlah penduduk Bali hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita HIV/AIDS berdasar data akumulatif tahun 1987 s/d 2016 adalah usia-usia produktif , yakni 20-29 tahun sebanyak 6024 kasus atau 38% dan 30-39 tahun ada 3582 kasus atau 35,5%.
Kalau sudah begini, akankah kita biarkan pemerintah masih saja mendatangkan peluang maksiat? Bukankah industri wisata dalam masyarakat liberal kapitalistik tidak bisa dipisahkan dari bisnis miras, seksual dan hiburan? Membiarkan pariwisata dengan gaya seperti itu berarti makin merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Di tengah keresahan akibat masyarakat makin jauh dari jalan Allah SWT, pemerintah neolib bukannya mencegah kemaksiatan itu, namun makin memperluasnya. Semuanya dilakukan pemerintah karena satu alasan : uang. Mereka tak peduli dengan kerusakan generasi, berkembangnya rasa apatis sekaligus kekuatiran masyarakat. Mereka tidak peduli dengan amanah yang seharusnya disandang pemerintah, yang harus melayani kepentingan umat. Memang, pemerintahan ini telah mati. Menggantikan fungsi pelayanannya dengan posisi pedagang, yang hanya peduli dengan nilai materi, bukan nilai hakiki kehidupan.
Liberalisasi adalah ruh kapitalisme. Selain dorongan ekonomi –yang tak pernah puas mengeksploitasi alam dan manusia-, perilaku liberal membuat manusianya menjadikan dunia sebagai tempat bersenang-senang . Indonesia, dimana posisinya masuk ke INDO PASIFIK sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dalam perdagangan bebas barang- jasa – modal – investasi – tenaga kerja menjadi lokasi penting untuk menggerakkan stagnasi ekonomi kapitalisme, dan sektor pariwisata amat menjamin dinamisasi ekonomi . SDA Indonesia telah dimiliki asing, sehingga pertumbuhan ekonomi yang ‘memandirikan rakyat’ hanyalah eksploitasi kekayaan alam, sekaligus memberi lapangan kerja sekalipun tanpa peran ri’ayah pemerintah. Bisa ditebak keberadaan pariwisata hanya akan menjamin penguasaan asing tetap berlanjut –pemilikan lahan dan properti, penguasaan sentra ekonomi, transfer nilai – dan dipermudah dengan desentralisasi wilayah dengan menjadikan KEK sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal . Akibatnya LIBERALISASI sosbud terus diperkuat Barat untuk melahirkan sosok muslim moderat –yang amat ramah dengan agenda liberalisasi-, dan kian menjauhkan dari pembentukan karakter muslim sejati
CARA KHILAFAH MENGELOLA PARIWISATA
Khilafah didirikan hanya untuk menerapkan hukum Allah di muka bumi. Sehingga tidak akan membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam Negara, termasuk melalui sektor pariwisata. Obyek wisata yang mengandalkan kekayaan alam, ataupun peninggalan Islam bisa dipertahankan. Bahkan ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan akan keagungan Islam.
Dengan begitu, bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Sementara obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka Khilafah bisa menempuh dua kebijakan. Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus dilihat: Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh dipugar atau direnovasi, jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan. Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, walaupun bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Perbedaan tujuan utama dipertahankannya bidang ini oleh Negara Khilafah dan yang lain mengakibatkan terjadi pula perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang ini. Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah dan propaganda oleh Khilafah, maka Negara Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan. Dengan demikian, Negara Khilafah sebagai negara pengemban ideologi dan negara dakwah, akan tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar.
MPH dalam pada rapat koordinasi nasional Kementrian Pariwisata tentang Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019, menyampaikan dalam makalahnya, bahwa pariwisata adalah kunci pembangunan, kesejahteraan dan kebahagiaan, dan pariwisata merupakan sektor unggulan dikarenakan:
Meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata, menjadikan pariwisata sebagai faktor kunci dalam pendapatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan infrastruktur
Pariwisata telah mengalami ekspansi dan deversifikasiberkelanjutan, dan menjadi salah satu sector ekonomi yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya di dunia.
Meskipun krisis global terjadi beberapa kali, jumlah perjalanan internasional tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif, yaitu 25 juta orang (1950), 278 juta orang (1980), 528 juta orang (1995), dan 1,1 milyar orang (2014).
Sumber: UNWTO Tourism Hihlights, 2014, UNWTO Tourism Barometer, Jan 2015, dan WTTC jan 2015
MOTIF EKONOMI DIBALIK KEK DAN UGG
Banyak negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Adapun realisasi proyek pariwisata melalui :
Kawasan Ekonomi Khusus [KEK]
PARIWISATA
Menurut Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang ditulis Jurnalis Koran SINDO · Selasa 08 Agustus 2017 KEK merupakan salah satu solusi agar lebih mempermudah masuknya investasi pariwisata karena adanya insentif fiskal dan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Selain itu, pemerintah pusat akan membantu percepatan pembangunan infrastruktur dan utilitas dasar di daerah yang berstatus KEK. Hingga 2019, pemerintah menargetkan pembentukan 10 KEK Pariwisata. Sebagai catatan saat ini baru terdapat empat KEK Pariwisata, yaitu Tanjung Lesung (Banten), Morotai (Maluku Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Tanjung Kelayang (Bangka Belitung).
KEK butuh waktu, untuk itu badan otorita dulu [guna mempercepat realisasi kawasan ekonomi khusus]. Transformasi badan otorita [ke KEK butuh waktu] 2—3 tahun. Menpar punya program membuat 100 KEK pariwisata dan dimulai dengan membuat 10 Bali baru,” ujarnya. (Deandra Syarizka). Sumber : Bisnis Indonesia (20/2/2018
UNESCO Global Geopark [UGG]
Ditulis dalam detik Travel, Selasa, 17 Apr 2018 bahwa Branding pariwisata Indonesia makin berkibar di dunia. Sebabnya, kini sudah ada 4 geopark yang diakui oleh UNESCO! Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya. Menurutnya, branding geopark atau wisata alam Indonesia akan makin dikenal di dunia setelah diakui oleh UNESCO."Kini kita punya 4 UNESCO Global Geopark. Batur, Gunung Sewu, Ciletuh dan Rinjani dengan status UNESCO Global Geopark (UGG) itu akan memperkuat branding destinasi atau produknya," kata Arief kepada detikTravel, Selasa (17/4/2018).
Jika diurutkan, pertama kali yang menyandang UNESCO Global Geopark adalah Gunung Batur di Bali pada sekitar tahun 2012. Kemudian disusul Gunung Sewu di DI Yogyakarta pada tahun 2015, yang terbaru adalah Ciletuh di Sukabumi dan Rinjani di Lombok yang ditetapkan pekan lalu di sidang Executive Board Unesco ke-204 di Prancis.
Indonesia sangat menyadari pentingnya sektor pariwisata untuk menggenjot gerak perekonomian nasional, dan terutama ekonomi di wilayah destinasi pariwisata. Untuk itu, sejumlah langkah strategis tengah dan akan dilakukan untuk memajukan pariwisata, baik perbaikan infrastruktur maupun akses dan sumber daya manusia di bidang pariwisata.
Bersamaan dengan itu, target kedatangan wisatawan mancanegara juga dinaikkan menjadi 20 juta pada 2020. Terkait dengan target ini, Indonesia pun aktif mengikuti berbagai pameran pariwisata tingkat dunia, terakhir di Madrid, Spanyol, Indonesia membuka Paviliun yang cukup besar di Fitur, ajang pameran pariwisata dunia.
Dubes RI di Spanyol, Yuli Mumpuni Widarso, yang merangkap sebagai Wakil Tetap RI (Watapri) pada Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UN World Tourism Organisation / UNWTO), menghadiri UNWTO Annual Asia–Pacific Ambassadors’ Meeting di Markas Besar UNWTO di Madrid. Pertemuan dipimpin oleh Sekjen UNWTO, Taleb Rifai, dengan didampingi para Direktur Eksekutif dan Direktur Program Regional Asia Pasifik, serta para Manajer Program yang menangani implementasi agenda UNWTO 2017 International Year of Sustainable Tourism for Development (2017 Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan untuk Pembangunan).
Sekjen UNWTO, Taleb Rifai, menyampaikan bahwa sebagaimana pada 2015, perkembangan pariwisata pada 2016 juga tetap menjadi kunci penggerak perbaikan ekonomi global dan salah satu penyumbang penting dalam penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, perlindungan lingkungan, dan pembentukan budaya damai dan saling pengertian antarbangsa di dunia. Hal tersebut terlihat pada kontribusi pariwisata yang pada 2016 tercatat menyumbang 10 persen GDP dunia; 1 dari 11 lapangan kerja baru merupakan sektor pariwisata; nilai ekspor produk terkait industri pariwisata mencapai 15 triliun dolar AS.
Nilai tersebut menjadikan share pariwisata pada ekspor barang mencapai 7 persen, dan jasa 30 persen. Angka turis internasional pada 2016 totalnya mencapai 1,235 miliar, meningkat 46 juta (+4 persen) dibandingkan 2015 yang tercatat 1,189 miliar. Peningkatan arus turis internasional tersebut, tertinggi mengalir ke kawasan Asia Pasifik (8,4 persen, atau 303 juta turis, naik 24 juta) dan Afrika (8,1 persen), yang lebih tinggi dari pada peningkatan rata-rata dunia (4 persen), maupun jika dibandingkan dengan peningkatan di kawasan lain, seperti di Eropa (2 persen) dan Amerika Serikat (4,3 persen), serta Timur Tengah (4,1 persen).(Koran Jakarta, Selasa 28/2/2017)
Dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, ISSN 2442-5958 E-ISSN 2540-8674 Vol.3 No.1, April 2017 yang berjudul KAPITALISME PEDESAAN DI KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) TANJUNG LESUNG KABUPATEN PANDEGLANG PROPINSI BANTEN, Dede Sri Kartini, Rahman Mulyawan, Neneng Yani Yuningsih, Departemen Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran dalam abstraknya menuliskan bahwa Kebijakan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan berbagai kepentingan rakyat akan menumbuhkan kapitalisme di suatu kawasan. Dengan mengambil lokasi penelitian di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung di Kabupaten Pandeglang, propinsi Banten, peneliti melihat kawasan pedesaan dirubah menjadi tempat investasi bagi siapapun yang memiliki uang, pemilik modal menjadi pengendali arah perkembangan satu kawasan. Inilah inti kapitalisme, pemerintah hanya bisa membuat regulasi tanpa bisa mengintervensi arah perkembangan pedesaan.
Ironisnya, kapitalisme ini justru dipayungi oleh kebijakan publik. DesaTanjung Jaya yang merupakan wilayah pedesaan berubah menjadi kawasan eksklusif dengan dibangunnya vila, resort, wisata pantai, sejak ditetapkannya wilayah ini menjadi Kawasan Ekonomi Khusus pariwisata.
Pratma Julia, dalam tulisannya “Pariwisata : Komoditas Andalan Rezim Neolib”, mengatakan bahwa Prinsip neolib yang kini menjadi pilihan penguasa semakin menjadikan mereka bernafsu menggarap sektor-sektor primadona demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen dalam waktu tiga tahun. Pariwisata pun menjadi salah satu sektor primadona, dengan mengandalkan keindahan alam (nature), kebudayaan (culture) dan kerajinan tangan (man made). Betapa tidak, sektor pariwisata menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013, yakni menyumbang Rp 347 triliun PDB (Produk Domestik Bruto). Angka itu mencapai 23 persen dari dengan total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013. Untuk itu koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara telah diposisikan sebagai pintu gerbang pariwisata dalam proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Menteri Pariwisata Arief Yahya, pada acara Jumpa Pers Akhir Tahun 2014 menargetkan kunjungan 10 juta wisatawan pada tahun 2015 dan berharap jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2019. Penargetan itu sejalan dengan program ekonomi liberal Jokowi-JK lainnya seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi serta regulasi. Dalam regulasi, mulai tahun 2015 pemerintah melakukan terobosan dengan memberikan bebas visa kunjungan bagi turis 5 negara seperti Australia, Jepang, Korea, China, dan Rusia. Target pemasukan jasa turisme memang luar biasa. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo menghitung, jika pemasukan wisatawan mancanegara (wisman) dengan penghitungan satu wisman akan menghabiskan 1200 dolar, maka akan didapat minimal 540 juta dolar per tahun.
KONTRIBUSI INDONESIA
Dubes Yuli Mumpuni menyampaikan bahwa kontribusi Indonesia pada 2016 cukup signifikan, tercatat 12,023 juta turis internasional berkunjung ke Indonesia, atau naik 15,54 persen dibandingkan 2015. Sekjen UNWTO dan para Direktur Eksekutif UNWTO mengapresiasi perkembangan pariwisata Indonesia tersebut, dan mengingat Indonesia sejak 2016 telah melaksanakan kebijakan fasilitas bebas visa kunjungan turisme bagi warga negara dari 169 negara, maka salah satu kajian UNWTO pada 2017 akan mengambil topik “Impact of Visa Facilitation and Tourism Growth in Indonesia”. Untuk itu, UNWTO akan bekerja sama dengan Indonesia menyelenggarakan seminar tentang hal tersebut.
Khusus menyangkut agenda UNWTO 2017 International Year of Sustainable Tourism for Development yang dideklarasikan oleh Sekjen UNWTO bersama Raja Spanyol, Felipe VI, di Madrid pada 17 Januari 2017, yang meliputi (1) peningkatan kesadaran dan advokasi; (2) penciptaan pengetahuan dan diseminasi; (3) pembuatan kebijakan; dan (4) peningkatan kapasitas dan pendidikan, dalam pertemuan tersebut Direktur Program Regional Asia Pasifik menyampaikan bahwa sebagai apresiasi UNWTO terhadap komitmen Pemerintah Indonesia yang terus memajukan pariwisata berkelanjutan maka pada 2017 UNWTO akan membangun dua STOs (Sustainable Tourism Observatory), masing-masing di Medan dan Bali, menambahkan tiga STOs yang telah dibangun pada 2016 di Pangandaran, Sleman dan Lombok.
UNWTO juga mendukung rencana Indonesia untuk menyelenggarakan Capacity Building Training and Workshop bagi para Kepala Dinas Pariwisata (regional managers) agar pengembangan destinasi di seluruh Indonesia sesuai dengan ke-4 butir agenda dimaksud. Lebih jauh, UNWTO juga mendukung penyelenggaraan Konperensi Pariwisata Berkelanjutan Untuk Pembangunan pada Oktober 2017, untuk diseminasi ke-4 butir agenda tersebut kepada para pemangku kepentingan di Indonesia.
Sebagai salah satu negara anggota UNWTO yang mendukung usulan tentang tahun 2017 sebagai International Year of Sustainable Tourism for Development yang disampaikan kepada PBB dalam UNWTO Expert Meeting di New York, 29–30 Oktober 2013, Indonesia akan melaksanakan dan mendukung keberhasilan pelaksanaan ke-4 butir agendanya.
KBRI Madrid selaku Wakil Tetap RI pada UNWTO mengapresiasi UNWTO yang secara reguler menyelenggarakan Pertemuan Tahunan UNWTO dengan para Duta Besar Kawasan Asia Pasifik. KBRI Madrid menilai penting pertemuan tersebut karena merupakan forum untuk saling bertukar pandangan dan pengalaman dalam meningkatkan industri pariwisata internasional, regional dan nasional. (Koran Jakarta, Selasa 28/2/2017)
Sejumlah kebijakan di bidang pariwisata yang digulirkan pemerintah demi mendongkrak kegiatan ekonomi di bidang ini dianggap mulai membuahkan hasil. Buktinya, sejumlah kebijakan sektor pariwisata mampu mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.
Beberapa kebijakan pariwisata yang digulirkan pemerintah antara lain kebijakan kemudahan sandar bagi kapal pesiar (yacht) asing lewat penerbitan Peraturan Presiden No 180/2014 tentang Kunjungan Kapal Wisata Asing ke Wilayah Indonesia akhir 2014. Berdasarkan data yachter-indonesia.in dan Nongsa Point Marina, kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah kunjungan yacht ke Indonesia. Pada 2015 jumlah kunjungan yacht hanya 1.531 kapal, pada 2016 naik 28,67% menjadi 1.970 kapal. Tahun ini, jumlah kunjungan yacht ke Indonesia diperkirakan naik menjadi 2.850 kapal.
Sementara itu, kebijakan perluasan negara penerima fasilitas bebas visa dari 15 negara menjadi 169 negara juga turut mendongkrak kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2016 jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia sebanyak 11,52 juta orang, naik 10,69% dari tahun 2015 yang sebanyak 10,41 juta orang. Sepanjang Januari-Agustus 2017 jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia mencapai 9,25 juta orang, naik 25,68% dari periode yang sama tahun lalu.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, deregulasi yang dilakukan pemerintah di bidang pariwisata cukup efektif mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara. "Kenaikan luar biasa, Desember 2014 buat aturan untuk mempermudah, langsung dampaknya bisa terasa," katanya pekan lalu. Melihat situasi tersebut, Agus optimistis target peningkatan kunjungan sebanyak 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun depan bisa tercapai. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo bilang, untuk mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara, pemerintah terus memperbaiki regulasi dan produk pariwisata di Indonesia. "Produk pariwisata harus terus diperbaiki, kalau tidak, orang yang sudah datang akan malas untuk kembali," ujarnya. (KONTAN.CO.ID Senin, 23 Oktober 2017 )
PARIWISATA SEBAGAI SARANA LIBERALISME
Sebagai varian sistem ekonomi kapitalistik, penerapan rezim neolib tidak mungkin dipisahkan dari inti paradigmanya, yakni menjadikan liberalisme (kebebasan) sbg konstruksi mendasar. Karena itu kebebasan ekonomi neolib akan selaras dengan kebebasan politik (demokrasi), kebebasan berperilaku (liberalisasi) serta kebebasan beragama (sekularisasi).
Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia. Saat ini tataran diplomasi hubungan antar Negara amat mengandalkan mekanisme people to people contact selain diplomasi resmi kenegaraan. Barat mengandalkan cara tersebut untuk melakukan transfer nilai-nilai yang dianutnya. Dalam dokumen Australia The Asian Century White Paper 2012, dengan gamblang pemerintah Australia menjadikan people to people sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antar negaranya dengan ASEAN, tentu saja termasuk Indonesia.
Sekalipun hubungan Indonesia dan Australia terkesan mengalami pasang surut, namun Indonesia jelas memiliki tempat istimewa bagi Australia. Demikian juga negara-negara kapitalistik lain yang segera mengerubungi Jokowi untuk merebut kesempatan berjaya di Indonesia, baik dari sisi menjarah kekayaan maupun penanaman nilai sekular kapitalistik. Namun mereka masih mendapatkan tantangan, mengingat keberadaan muslim adalah mayoritas di Indonesia. Penyerahan kedaulatan pada asing dan proses penjarahan sumber daya alam tak akan mungkin terealisir dengan sempurna jika persepsi mendasar masyarakat, apalagi muslim, belum sepenuhnya liberal. Untuk itu perlu usaha masif untuk mengaruskan dan menancapkan paham-paham liberal di Indonesia. Pariwisata menjadi salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.
PARIWISATA INDONESIA, UNTUK SIAPA?
Hari Pariwisata diperingati secara global pada 27 September. Para ahli, pejabat, dan promotor pariwisata pasti menyebut capaian-capaian positif sektor pariwisata, mulai dari devisa, serapan tenaga kerja, hingga perbaikan infrastruktur yang fantastis. Paling tidak bukti statistik sudah menegaskan pertumbuhan pariwisata terus naik, baik di tataran internasional maupun nasional.
Ada baiknya sedikit membuka ruang perenungan. Ketika ukuran kuantitatif mampu menebar optimism. Pada saat yang sama ukuran kualitatif condong kehilangan makna. Pengamat terpana angka sekaligus lupa pada dampak dan untuk siapa sebenarnya pariwisata. Bukan maksud untuk menyangkal capaian positif pariwisata. Toh pertanyaan masih tersisa banyak. Siapa yang menikmati surplus ekonomi sektor pariwisata yang menggelembung itu? Apakah timbunan devisa sukses menggusur kemiskinan? Semakin merata atau timpangkah pendapatan masyarakat? Serta seberapa besar dampaknya terhadap Indonesia?
Format Indonesia demikian selaras dengan pembentukan ASEAN Community (Masyarakat ASEAN) pada tahun 2015. Masyarakat ASEAN terdiri dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Masyarakat Politik-Hankam ASEAN (MPA) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (MSA). Dalam pembentukan Masyarakat Sosial- Budaya ASEAN, budaya yang dimaksud jelas bukanlah budaya Melayu yang masih terpengaruh dengan ajaran Islam. Namun tatanan universal sistem sosial ala Barat yang menjadikan HAM, sekularisme, pluralisme dan liberalisme sebagai anutan mainstream masyarakat. Bahkan secara sarkastis, paham-paham tersebut telah beralih menjadi tuhan baru.
Kedatangan turis-turis asing jelas tidak hanya membawa dollar, namun juga membawa nilai. Sekalipun Rusia, China, Jepang dan Korea asalnya bukan bangsa Barat, namun sistem nilai dan çara hidup mereka sudah mengalami westernisasi dan kapitalisasi. Jadi tidak ada bedanya, antara bangsa Timur itu dengan Barat : Australia, Eropa atau Amerika. Bahkan budaya pop Korea yang berkembang menjadi Gelombang Korea (Hallyu) sejak tahun 1990-an sama sekali tidak menampakkan budaya asli mereka, namun lebih lekat dengan life style selebritas Hollywood.
Realitas berbicara, tanpa serbuan turis asing saja, bangsa ini -terutama generasi mudanya- sudah terseret arus liberal. Tengok saja Bali, sebagai destinasi wisata utama telah menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS dengan angka yang cukup fantastis. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan sejumlah aktifis penanggulangan AIDS nasional baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 26.000 orang. Padahal secara keseluruhan jumlah penduduk Bali hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita HIV/AIDS berdasar data akumulatif tahun 1987 s/d 2016 adalah usia-usia produktif , yakni 20-29 tahun sebanyak 6024 kasus atau 38% dan 30-39 tahun ada 3582 kasus atau 35,5%.
Kalau sudah begini, akankah kita biarkan pemerintah masih saja mendatangkan peluang maksiat? Bukankah industri wisata dalam masyarakat liberal kapitalistik tidak bisa dipisahkan dari bisnis miras, seksual dan hiburan? Membiarkan pariwisata dengan gaya seperti itu berarti makin merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Di tengah keresahan akibat masyarakat makin jauh dari jalan Allah SWT, pemerintah neolib bukannya mencegah kemaksiatan itu, namun makin memperluasnya. Semuanya dilakukan pemerintah karena satu alasan : uang. Mereka tak peduli dengan kerusakan generasi, berkembangnya rasa apatis sekaligus kekuatiran masyarakat. Mereka tidak peduli dengan amanah yang seharusnya disandang pemerintah, yang harus melayani kepentingan umat. Memang, pemerintahan ini telah mati. Menggantikan fungsi pelayanannya dengan posisi pedagang, yang hanya peduli dengan nilai materi, bukan nilai hakiki kehidupan.
Liberalisasi adalah ruh kapitalisme. Selain dorongan ekonomi –yang tak pernah puas mengeksploitasi alam dan manusia-, perilaku liberal membuat manusianya menjadikan dunia sebagai tempat bersenang-senang . Indonesia, dimana posisinya masuk ke INDO PASIFIK sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dalam perdagangan bebas barang- jasa – modal – investasi – tenaga kerja menjadi lokasi penting untuk menggerakkan stagnasi ekonomi kapitalisme, dan sektor pariwisata amat menjamin dinamisasi ekonomi . SDA Indonesia telah dimiliki asing, sehingga pertumbuhan ekonomi yang ‘memandirikan rakyat’ hanyalah eksploitasi kekayaan alam, sekaligus memberi lapangan kerja sekalipun tanpa peran ri’ayah pemerintah. Bisa ditebak keberadaan pariwisata hanya akan menjamin penguasaan asing tetap berlanjut –pemilikan lahan dan properti, penguasaan sentra ekonomi, transfer nilai – dan dipermudah dengan desentralisasi wilayah dengan menjadikan KEK sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal . Akibatnya LIBERALISASI sosbud terus diperkuat Barat untuk melahirkan sosok muslim moderat –yang amat ramah dengan agenda liberalisasi-, dan kian menjauhkan dari pembentukan karakter muslim sejati
CARA KHILAFAH MENGELOLA PARIWISATA
Khilafah didirikan hanya untuk menerapkan hukum Allah di muka bumi. Sehingga tidak akan membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam Negara, termasuk melalui sektor pariwisata. Obyek wisata yang mengandalkan kekayaan alam, ataupun peninggalan Islam bisa dipertahankan. Bahkan ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan akan keagungan Islam.
Dengan begitu, bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Sementara obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka Khilafah bisa menempuh dua kebijakan. Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus dilihat: Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh dipugar atau direnovasi, jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan. Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, walaupun bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Perbedaan tujuan utama dipertahankannya bidang ini oleh Negara Khilafah dan yang lain mengakibatkan terjadi pula perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang ini. Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah dan propaganda oleh Khilafah, maka Negara Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan. Dengan demikian, Negara Khilafah sebagai negara pengemban ideologi dan negara dakwah, akan tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar.[]