Ketika Malu Tak Mampu Hadir Lagi



Endah Sulistiowati
(Dir. Muslimah Voice)
.
Nabi Muhammad Saw mengajarkan agar umatnya memiliki sifat malu, “Iman itu ada 70 sekian cabang. Dan rasa malu salah satu cabang dari Iman”. (HR. Ahmad No. 9361, HR. Muslim No. 161)
.
Malu bukan suatu yang rumit, tapi bukan pula hal yang mudah dilakukan. Suami-istri seharusnya malu bermesraan ditempat umum, muda-mudi malu jika berduaan dengan lawan jenis yang belum halal. Para murid malu menyontek saat ujian. Ustadz-ustadzah harus malu jika bisa memberikan nasihat tapi tidak bisa melakukan apa yang mereka nasihatkan. Seorang pemimpin pun harusnya malu ketika berbuat curang, malu ketika tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya.
.
Namun sayangnya, rasa malu yang seharusnya berjalan seiring dengan keimanan, diletakan ditempat yang tidak semestinya. Bahkan malu dijadikan justifikasi untuk melakukan kemaksiatan. Seringkali keegoisan, keinginan untuk terus menjadi yang terdepan, membuat seseorang malu mengakui keunggulan lawan. Terkadang karena malu mengakui keunggulan lawan, perbuatan curang menjadi satu hal yang biasa dilakukan. Demikian juga ketika seseorang berbuat salah, malu mengakui kesalahan, malu meminta maaf, dan menutupinya dengan kebohongan-kebohongan.
.
Bagaimana jika malu itu sudah enggan untuk hadir? Bagaimana pula jika malu tidak pada hal yang semestinya? Ketidak hadiran malu berbanding lurus dengan keimanan. Sehingga ketika malu sudah tidak ada maka keimanan pun tidak ada. Maka yang terjadi berikutnya adalah kemaksiatan merajalela dan tata kehidupan pun bisa dipastikan rusak.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama