MUSLIMAHVOICE.COM, Berawal dari kasus seorang ibu rumah tangga (52) ditangkap dan di tahan di Polda Metro Jaya dengan tuduhan hatespeech beberapa waktu lalu. Penangkapan tersebut, ternyata justru mengundang simpati yang luar biasa dari BEM (Barisan Emak-Emak Militan). Sungguh luar biasa emak-emak yang kini menggantikan peran mahasiswa yang tak lagi berani menyuarakan kebenaran (Eramuslim.com, 15/09/2017).
Penangkapan terhadap ibu yang kritis tersebut, dilakukan seolah-olah beliau adalah pelaku tindakan kriminal yang luar biasa, hanya dikarenakan memberikan kritik terhadap pemerintah. Namun sangat disayangkan hal tersebut membuatnya dipolisikan dan dianggap telah melanggar UU ITE.
Padahal seorang ibu semestinya tidak hanya berkutat dilingkungan domestiknya saja (baca:sumur,kasur,dapur). Emak-emak juga punya hak untuk berperan aktif di tengah-tengah masyarakat, misalnya memperhatikan urusan umat, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar termasuk mengkritik penguasa dalam berbagai urusan tanpa rasa takut. Amar ma’ruf nahi mungkar inilah bentuk kepedulian dan kecintaan terhadap sesama muslim. Sudah saatnya emak-emak bangkit dan peka terhadap kondisi umat hari ini.
Jika kita membuka sejarah masa keemasan islam, betapa peran emak(baca:ibu) di masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin sudah tidak diragukan lagi misalnya keberanian seorang muslimah dalam mengkritik Penguasa (baca: Khalifah) Amirul mukminin Umar bin Al-Khatab. Dalam pidatonya, Umar melarang pemberian mas kawin secara berlebih-lebihan dan menyerukan untuk membatasi mas kawin dalam jumlah tertentu. Kemudian muslimah itu menampakkan diri seraya berkata “ Anda tidak berhak menentukan hal itu, wahai Umar!” Umarpun kemudian bertanya, “Mengapa?” wanita itupun menjawab “Karena Allah SWT berfirman, dalam surat an-Nisa ayat 20 yang artimya “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”.
Akhirnya Umar bin Al-Khattab berkata “Wanita itu benar dan Umar yang salah”. Inilah seharusnya karakter penguasa yang jika dikritik menerima atas apa yang dikritisi bahkan legowo merubah kebijakannya jika ditemukan ada kesalahan.
Dan itu juga yang ditunjukkan oleh peran seorang muslimah dan seorang ibu yang tidak jauh dari sejarah bangsa ini dan lebih khusus adalah sejarah Pahlawan Aceh, Cut Nyak Dien, Beliau adalah sosok yang legendaris, saat itu oleh Belanda dicap sebagai Musuh dan pemberontak. Setelah suaminya Teuku Umar meninggal ia memilih melanjutkan perjuangan Suaminya: hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan dan itu belangsung selama 6 tahun,…….”selama aku hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan….”bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. (Malaya.or.id, 23/09/2017).
Cut Nyak Dien boleh saja dicap oleh Belanda pada saat itu “musuh atau pemberontak “ karena Belanda adalah Penjajah Negeri ini. Perjuangannya adalah ingin membebaskan negeri ini dari penjajahan serta ketidakadilan Belanda dalam merampas harta dan kekayaan alam pribumi. Apa yang dilakukan oleh Bu Asma Dewi walapun sangat jauh dibandingkan perjuangan Cut Nyak Dien tapi pada dasarnya adalah sama. Sama-sama berespon terhadap ketidakadilan dan memiliki pondasi yang sama yaitu Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…(TSQ.Al-Imran ayat 110)
Tentu ayat ini bukan hanya ditujukan untuk yang muslim saja tapi juga untuk muslimah dalam
rangka sama-sama berperan aktif dalam menyeru terhadap kebaikan dan mencegah bertambahnya kemungkaran atau bahasa islam yang disebut sebagai “Dakwah”. Dan apa yang menjadi substansi dari rintihan Ibu Asma seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah khususnya bukan justru berang dan “murka” menjebloskan beliau dalam penjara.
Sangat banyak persoalan umat hari ini, mahalnya kebutuhan pokok, Tarif dasar listrik (TDL) yang terus naik, mahalnya biaya pendidikan, kesehatan apa lagi. Dan yang paling merasakan efek dari semua ini adalah seorang emak-emak.. Terkadang ketika himpitan ekonomi maka terpaksa emak-emak harus membantu suami dalam mencari nafkah tambahan sehingga tugasnya sebagai madrasahtul ula’ terabaikan.
Karena itu wahai emak-emak dan para calon emak jadilah emak militansi bermental pejuang, emak politis, emak ideologis karena ditanganmu lah nasib generasi ditentukan. [sr]
Oleh: Eli Marlinda, S.Pdi